Aku baru saja sampai kamarku ketika tiba-tiba Mas Aron nyelonong masuk tanpa mengetuk dulu.
"Kebiasaan, deh," protesku. "Aku mau istirahat, jangan ganggu." Aku menata bantal dan selimut dengan kasar.

"Kamu kenapa, sih?" Mas Aron bertanya disertai tawa cekikikan.

"Emang aku kenapa?" Nada suaraku meninggi.

"Uhm, kelihatan banget lagi nggak mood. Kayak lagi ... ditolak laki-laki."

"Sok tahu!" Kali ini suaraku lebih tinggi dua oktaf. Sumpah deh, andai dia bukan abang kandung, sudah aku ajak gelut dari tadi.
"Udah, deh, maunya apa? Aku mau rebahan. Capek tauk."

Mas Aron mencebik sekilas, lalu berujar, "Minta nomornya Si Imut."

"Imut?" Keningku mengerut.

"Itu, temenmu yang beberapa waktu lalu ke sini. Yang kecil, mungil, lucu, kek anak es-em-pe."

Kecil, mungil, lucu, imut kayak anak SMP?

"Elsa?"

"Minta nomornya, ya?" Mas Aron kembali merajuk.

"Buat apa? Jangan godain anak orang!" peringatku.

"Ya iyalah anak orang. Siapa bilang anak marmut? Cuma mau kenal lebih jauh lah. Kayaknya aku tertarik sama anak itu."

"Nggah, ah. Elsa itu masih polos. Aku nggak akan ngebiarin Mas Aron ngedeketin dia. Lagian 'kan Mas udah punya pacar."

"Aku udah putus."

Kalimat Mas Aron sukses membuatku syok. "Sama Mbak Vanya?"

Abangku satu-satunya itu mengangguk.
"Kenapa? Kalian kan udah lama pacaran, udah hampir dua tahun, lho." Entah kenapa aku tiba-tiba merasa mellow. Aku memang sering bertengkar dengan Mas Aron, tapi tak bisa dipungkiri bahwa kami dekat satu sama lain.

Mas Aron mengangkat bahu. "Aku pengen ngajak dia serius. Tapi dianya masih mikirin karir. Jadi ya udah, kami sepakat berpisah."
Masih terlihat ada beban di setiap ucapan Mas Aron.
Mbak Vanya memang berprofesi sebagai model. Dia pernah mengatakan bahwa kelak ia ingin ikut seleksi di Paris. Aku hanya tidak menyangka bahwa itu serius.

Buru-buru aku beranjak memeluknya. "Duh, yang sabar ya, Mas," bisikku.

Terasa Mas Aron mengangguk.
"Gak apa-apa. Lagian kalo dipikir-pikir, kami emang nggak cocok. Baguslah," jawabnya.

"Ayo besok kita refreshing kemana gitu biar Mas bisa segera move-on."

"Aku udah move-on. Makanya pengen ngedeketin Si Imut. Ayo sini mana nomornya."

Aku melepas pelukanku dengan segera lalu menyentakkan sosok itu. "Kagak!" bentakku.

"Zoya, please."

"Cari cewek lain aja. Kalo Elsa aku nggak ikhlas."

"Yang saudaramu itu dia atau aku, sih?"

"Pokoknya enggak." Aku berusaha mendorong pria itu keluar kamar.

"Zoya, ayo dong, please. Kasih nomornya, ya?"

"Nggak mau."

"Jahat banget sih sama kakak sendiri."

"Udah, deh. Pokoknya keluar sana. Besok aja ngobrol lagi. Aku lagi suntuk, mau istirahat." Setelah dorong-dorongan alot, akhirnya aku berhasil membuat Mas Aron meninggalkan kamarku. Baru saja melemparkan tubuh di kasur, ponsel menunjukkan ada pesan masuk.

[Zoya...]

Bae mengirimiku pesan WA.
Tak kubalas.

[Kamu terlihat marah tadi. Apa aku salah bicara]

Sexy BaeWhere stories live. Discover now