04. Lekas Sembuh, Jev

198 20 22
                                    

Masih di hari yang sama.


Badai sudah selesai, tapi hujan masih turun berupa rintik halus. Setelah mengakhiri panggilan dengan Marcel, gadis bersurai hitam itu kembali menuju kamar tamu. Di sana masih ada papanya, memeriksa kondisi Jevano.

"Demamnya tinggi banget," kata Agung sembari membetulkan letak cairan infus.

Beberapa menit lalu, pria itu disambut dengan pemandangan dua anak manusia yang tengah tidur dalam posisi berpelukan. Jevano yang menggigil dan meracau di dalam selimut menarik perhatiannya. Dia membangunkan mereka berdua perlahan dan memeriksa keadaan Jevan yang sudah penuh keringat dingin.

"Jagain dulu, papa mau ambil obat sama bikin makan buat Jevan," Agung mengusap kepala anak tunggalnya itu, "sekalian ngabarin Om Dimas juga."

Dimas dan Agung itu sudah berteman sejak SMA. Tapi, dulu hanya sekedar kenal saja, tidak akrab seperti saat ini. Awal mula kedekatan mereka saat Agung menjadi dokter yang merawat mendiang istrinya Dimas. Bahkan, semenjak itu, bisa dibilang Agung merangkap menjadi dokter pribadi keluarga Dimas. 

Dan hubungan kedua anak mereka tidak ada sangkut pautnya. Jevano bahkan tidak tahu kalau Aileen anak dari dokter yang selama ini merawat keluarganya kala sakit. Saat dia mengunjungi rumah Aileen untuk pertama kali dia lumayan kaget melihat Agung yang menyambutnya.


Aileen hanya mengangguk. Tatapannya ia alihkan pada sosok yang sedang berbaring di atas kasur. Dia menaikan selimut Jevan sampai batas dada. Lalu duduk, menjajarkan diri dengan Jevan. Punggungnya ia sandarkan pada headboard. Laki-laki itu terlihat gelisah dalam tidurnya, Aileen mencoba memberi ketenangan dengan mengusap kepalanya pelan. Dia bisa melihat bibir Jevan bergerak, menyebutkan sesuatu tanpa suara.

"Kok bangun? Nggak nyaman, ya?" tanya Aileen saat Jevan tiba-tiba membuka mata.

"Enggak, kok. Terusin aja," ucap Jevan dengan suara parau. "Kirain aku, kamu itu Mama."

"Kangen Mama, ya?" Jevan mengangguk pelan sambil memejamkan matanya yang berair. Tubuhnya semakin masuk ke dalam selimut.


"Ai, ini. Jevan suruh makan dulu, terus minum obat." Agung masuk bersama nampan di tangannya. Ada sepiring bubur, semangkuk sup yang terlihat sangat bening, segelas air, dan satu piring kecil berisi obat-obatan. Lalu menyerahkannya pada Aileen.

Yang diperintah mengangguk patuh. Dia menerima nampan itu, meletakannya di atas nakas agar bisa membantu Jevan bangun. Gadis itu menata bantal supaya Jevan bisa bersandar dengan nyaman.

"Tadi papamu udah om kabarin, nanti habis maghrib dijemput. Om juga udah nyiapin obat-obatan buat kamu minum di rumah," jelas Agung. "Diminum yang rutin, ya."

"Makasih banyak, Om. Maaf ngerepotin."

"Iya, sama-sama. Lekas sembuh." Agung tersenyum, lalu menatap anak perempuannya. "Awasin Jevan ya, Ai. Papa mau mandi dulu."

"Oke, Pa."

Pria itu meninggalkan ruangan tanpa menutup pintu. Sengaja, biar gampang ngawasin Jevan. Sementara Jevan sendiri menatap Aileen, yang sedang menuang sup ke piring buburnya, dengan posisi setengah duduk. Tentang dia yang mengira Aileen itu mamanya, ya memang benar.

Jevan masih setengah sadar saat merasakan usapan di kepalanya. Dia melihat sosok mamanya sedang tersenyum, mengusap kepala Jevano dengan lembut. Setelah berusaha mengumpulkan kesadaran, semuanya berubah. Tidak ada lagi sosok mamanya, hanya Aileen yang duduk di sebelahnya sambil mengusap puncak kepalanya.

"Ayo, makan dulu," ucap Aileen yang membuyarkan lamunan pria itu.

Jevan menatap piring berisi bubur dan Aileen bergantian. Dia benar-benar tidak nafsu makan.

[NEW VERSION] Last SojournTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang