03. Hujan Badai, Tapi Jevan yang Tumbang

150 27 24
                                    

Hari ini hujan badai sejak pagi tadi. Langit benar-benar tidak mengizinkan matahari menyapa penghuni bumi. Aileen berdiam diri di sudut kelasnya sambil bertopang dagu. Memperhatikan jendela basah yang mengarah langsung pada kebun fakultas. Kelasnya sudah berakhir sejak 15 menit yang lalu, namun dia masih enggan beranjak dari sana karena malas. Selain itu juga karena menunggu sang pacar yang sedang rapat organisasi.

Katanya sih 30 menit lagi kelar, Jevan bilang sebelum kelas Aileen berakhir.

Di kampus, Aileen itu cuma mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang-kuliah-pulang. Beda sama pacarnya yang aktif berorganisasi, menjabat sebagai ketua himpunan. Sebenarnya Aileen itu mudah saja bergaul, tapi terlalu malas dan masa bodoh. Dia harus dipancing lebih dahulu supaya mau berbicara banyak.

"Aileen?" Yang dipanggil hanya menoleh. "Lo gak balik?"

Aileen memutar balik tubuhnya, mendapati Marcel sedang mendekat. "Nunggu Jevan. Mana dia?"

"Lagi ke toilet. Tungguin aja, bentar lagi juga kelar. Kalo gitu, gue duluan, ya."

Aileen hanya mengangguk. Dia beranjak dari tempatnya, mendekati jendela yang penuh bulir-bulir air di sisi luar. Tangannya kanannya terangkat, ujung jarinya menyentuh kaca yang berembun.

Sementara Marcel keluar dari ruangan tersebut dan dia berpapasan dengan Jevan di depan pintu.

"Are you serious?" tanya Marcel dengan alis yang naik sebelah, dia menarik Jevano menjauh dari ruang tersebut. "Bawa motor?"

Jevan mengangguk. "Gue nggak apa-apa, sumpah."

"But, Jev—"

"Mark, please. Kasian cewek gue nungguin dari tadi," sela Jevan.

"Makanya itu. Ini hujannya juga masih deres banget, anjir. Nurut sama gue sekali aja, deh. Lo bawa mobil gue, biar gue yang bawa motor lo."

Jevan menggeleng. "Gue nggak mau ngerepotin. Nunggu reda dikit, deh. Baru nanti gue sama Ai pulang atau lo yang nganter dia pulang?"

"Sumpah, nggak paham gue sama lo. Ngerepotin apanya? Gue nawarin loh ini." 

Jevan tetap kukuh pada pendiriannya.

Marcel menghela napas panjang sembari menggaruk jidatnya yang sama sekali nggak gatal. Agak lelah menghadapi manusia yang sudah menjadi temannya sedari orok. "Batu banget kalo dibilangin. Gue juga tau lo lagi nggak fit hari ini dan lo mau hujan-hujanan? Ngajak cewek lo? Lo gila?"

"Gue baik-baik aja, lo nggak usah lebay."

"Serah lo, deh. Gue tanya sekali lagi, lo serius?"

"Iya. Lo balik duluan aja sono."

"Yaudah, good luck! Semoga gak demam lo." Marcel menepuk pundak Jevan dua kali, kemudian berlalu dengan perasaan gelisah. Sementara Jevano sendiri menghampiri kekasihnya yang tengah melamun di dekat jendela. Dia berkali-kali memanggil cewek itu, tapi tidak ada respon.



"Pantesan dipanggilin dari tadi nggak nyaut-nyaut, ternyata kupingnya disumpel."

Aileen hanya mengembangkan cengiran khasnya. Membuat cacat di kedua pipinya terlihat. "Hehe, maaf. Dari tadi?"

Jevano menggeleng. "Enggak, baru aja. Pulang, yuk?"

"Masih hujan, Jev!"

"Aku bawa jas hujan, kok. Motor juga udah aku taro di depan tuh. Jadi, nggak perlu hujan-hujanan ke parkiran."

"Yaudah, ayo."

Mereka berdua berjalan keluar kelas yang sepi, koridor pun nampak gelap karena tidak ada lampu yang menyala. Sepertinya listrik belum dinyalakan, mengingat tadi siang hujan badai disertai petir. Suasana jadi terasa horor. Tapi, dua sejoli itu tidak peduli. Mereka terus berjalan menyusuri koridor gelap.



[NEW VERSION] Last SojournTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang