01. Kecerobohan Aileen

331 42 33
                                    

"Nih, buku lo," Lukas melempar buku beberapa jilid buku ke atas meja, "besok-besok tinggalin aja lagi."

Aileen cuma nyengir sambil meraih bukunya. "Sorry, ya. Gue lupa, hehe. Makasih, ya, sepupuku yang paling ganteng sejagad raya, tapi masih gantengan pacarku."

"Sia-sia banget Om Agung ngasih lo suplemen buat otak tiap hari, tapi anaknya udah pikun gini. Coba itung, berapa kali lo ninggalin buku di rumah? Tau nggak, sih? Kos-kosan gue sama rumah lo tuh jauh, Ai. Harusnya ke kampus nggak nyampe lima menit dari kos-kosan, tapi gara-gara ngambilin buku itu di rumah lo, jadi makan waktu banyak buat nyampe sini. Kenapa nggak nyuruh pacar lo aja, sih? Kenapa harus gue?"

Ya, gimana Lukas nggak kesal coba. Harusnya jarak ke kampus nggak sampai lima menit, tapi gara-gara Aileen dia jadi harus putar balik dan itu memakan waktu setengah jam lebih. Jarak rumah Aileen ke kampus memang terbilang cukup jauh. Lukas sebagai anak rantau yang ngekost di sekitaran kampus jelas saja mengeluh.

"Gue jadi tekor bensin gara-gara lo," omelnya lagi.

"Mana mungkin gue nyuruh Jevan, dia kan masih ada kelas. Gila lo."

"Lo yang gila gue rasa. Hampir tiap hari ada aja yang ketinggalan, udah gitu barang penting semua pula."

Obrolan—tidak nyantai—mereka terinterupsi oleh kehadiran wanita paruh baya yang mengantarkan dua mangkuk es buah. Aileen mengucapkan terima kasih sambil tersenyum kemudian menyodorkan salah satunya pada Lukas. "Nih, buat lo. Kasian kepala lo abis kepanasan, jadinya ngomel mulu kayak emak-emak gak dikasih duit bulanan," ucapnya.

"Nyampe mana tadi? Oh, iya. Gue jadi tekor bensin gara-gara lo. Udah tau gue lagi nahan pengeluaran buat kebutuhan hidup."

"Kas, 'kan Papa udah bilang kalo dia bakal menuhin kebutuhan lo selama di sini. Termasuk buat tinggal di rumah, akomodasi, segala macem. Hidup lo udah terjamin kalo lo mau tinggal di rumah."

"Gue nggak enak sama Om, serius deh."

"Aelah, Papa tuh malah seneng tau. Dia juga udah nganggep lo kayak anak sendiri." Aileen menyuapkan sepotong buah ke dalam mulut, mengunyah dengan cepat, lalu menelannya. "Lagian, lo nggak kasian sama gue? Idup sendirian di rumah segede gaban gitu. Itung-itung sekalian nemenin gue di rumah kalo Papa kerja."

Sebagai anak tunggal, Aileen sering merasa kesepian. Papanya yang bekerja sebagai dokter spesialis itu sering kali pulang malam, apa lagi kalau ada jadwal operasi. Bisa-bisa pas subuh baru pulang. Ibunya sudah meninggal setelah berhasil membuat Aileen menghirup udara. Di rumah, dia cuma tinggal berdua. Tidak ada asisten rumah tangga karena Agung tidak mudah percaya dengan orang asing. Tapi, walau terlihat begitu sibuk, Agung itu lumayan posesif sama anaknya. Terutama kesehatan.

Lukas menyeruput kuah es buah langsung dari mangkuknya, sebelum akhirnya dia berbicara, "Gue tuh sungkan tau. Biaya kuliah gue kan juga nggak murah."

"Papa tuh beneran nggak masalah selagi itu menunjang pendidikan lo." Aileen menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. "Coba deh, lo pikir-pikir lagi. Sekalian kan ngurangin beban Pakde sama Bude di kampung."

Lukas diam. Raut wajahnya terlihat jelas kalau sedang berpikir. Berkali-kali dia membuang napas panjang. Dia jadi ingat orang tuanya. Sebelum jadi anak rantau, dia sempat berat sebelah karena memikirkan keadaan orang tuanya yang waktu itu lagi berada di posisi bawah.

"Wes ta lah, gak usah mikirno Bapak karo ibuk. Biaya kuliah yo wes ditanggung paklekmu. Awakmu kuliah ae seng tenanan, ojo nggarai paklekmu rumongso sia-sia nyekolahno awakmu. (Udahlah, nggak usah mikirin Bapak sama ibu. Biaya kuliah juga udah ditanggung pamanmu. Kamu kuliah aja yang sungguh-sungguh, jangan bikin dia merasa sia-sia nyekolahin kamu.)"

[NEW VERSION] Last SojournTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang