*****

"Apa gunanya ponsel kalau nggak bisa dihubungi?" Gayatri terhenti langkahnya ketika sebuah suara bariton menggema di rumah penuh ukiran dan barang antik itu. Lalu gadis itu menghela nafasnya panjang.

"Mau mencoba mengatakan kalau lagi bertugas? Jangan bohong Aya!" Gayatri memejamkan matanya. Tangannya masih memegang kantong plastik berisi vitamin dan obat. Menurut hasil pemeriksaan, kemarin ia mengalami darah rendah dan kekurangan cairan sehingga langsung tumbang ketika terkena tembakan yang tak begitu dalam. Gayatri hanya di sarankan untuk beristirahat total selama 2 hari dan mendapat surat keterangan dokter yang bisa ia gunakan untuk mengajukan cuti guna pemulihan dirinya. Namun ternyata ada suatu hal yang membuat dirinya pergi ke rumah ini, bukan ke kontrakan yang berada tak jauh dari kantornya.

Ia kira rumahnya kosong dan ayahnya bekerja. Tetapi tenyata laki-laki itu di ruang dan sedang duduk di ruang tamu. Oleh karena itu Gayatri langsung masuk tanpa tahu ada sang ayah disana.

"Permisi ayah. Aya tidak bohong. Kalau ayah tidak percaya silahkan cek di tempat kerja Aya." Jawab Gayatri tenang. Gadis itu masih punya sopan santun yang baik kepada orang tua ya walaupun hubungan dengan ayahnya dikatakan tidak begitu baik.

Hanya ada percakapan kaku dan penting saja yang terjadi diantara mereka, selebihnya mereka hidup layaknya orang asing yang tinggal di satu atap.

Ayah Gayatri melipat kembali korannya. Lantas laki-laki paruh baya itu menatap sang putri bungsu. "Seminggu lagi Tika sumpah dokter. Terserah kamu ikut atau tidak." Lalu ayah Gayatri bangkit dan melewati Gayatri begitu saja. Gayatri seperti biasa, tak merespon apapun selain diam. Hanya helaan nafasnya yang bisa mewakilkan perasaannya saat ini.

Lalu Gayatri memilih berjalan ke kamar yang mungkin di tengok sebulan sekali ketika ingin pulang saja. Tak ada tujuan yang pasti ia pulang. Pulang hanya sebagai formalitas agar hubungan dengan ayahnya sedikit bisa lebih baik walau nyatanya tetap sama saja tak ada perubahan yang berarti. Gayatri pulang pun hanya ingin merasakan bagaimana dirinya hidup penuh dengan perjuangan dan air mata. Di kamarnya yang senyap ini menjadi saksi bisu bagaimana Gayatri berjuang untuk hidupnya, berjuang dalam cita-citanya dan menjadi saksi atas pesakitan dan air mata gadis yang terlihat tak punya rasa takut itu.

Kamar bukan hanya menjadi saksi bisunya. Tetapi tempat kecil yang ia gunakan untuk mengadu pada alam semesta, mengadu pada Tuhan atas kehidupan yang tak ia kehendaki. Hanya kamarnya lah bisa ia caci seburuk-buruknya atas kehidupan yang jauh dari impiannya.

Gayatri memutar knop pintu kamarnya perlahan. Mungkin jika ia tak butuh barang di sini, ia tak akan kembali. Pulang sama saja harus menebalkan hati dan emosi supaya tak ada kebencian yang lebih mendalam lagi. Cukup ikhlas yang menjadi obatnya saat ini.

Pengap. Itulah yang Gayatri rasakan. Mungkin terhitung dua bulan ini ia tak menyambangi kamarnya itu. Selama pergi, kamar ini mungkin akan dibersihkan seminggu sekali. Karena jarang di huni oleh dirinya.

Gayatri melepas tas ranselnya, lalu menutup pintu kamar dan menguncinya. Gadis itu lalu menuju meja belajarnya yang kebanyakan berisi buku dan miniatur pesawa terbang dan satelit. Ia suka mengoleksi berbagi jenis miniatur pesawat, satelit dan sekarang sedang ingin mengoleksi jenis miniatur motor dan mobil.

Gayatri berjongkok untuk membuka laci bawah dan mengambil sesuatu. Gadis itu menemukan sebuah buku usang yang ia jadikan buku harian. Lalu tangannya mengambil sesuatu di dalam laci. Gayatri sedang mengambil sebuah kotak yang berisi penghargaan atas pendidikannya dulu. Gadis itu lalu melangkahkan kakinya di kasur yang terasa dingin itu. Sebelum membuka, gadis itu menyibak gorden dan membiarkan cahaya matahari sore masuk ke dalam kamarnya yang begitu pengap.

DersikWhere stories live. Discover now