36. Move Forward

255 19 4
                                        

Lisya mendengar deru mesin mobil semakin samar seiring dengan langkahnya mendekat ke arah Aldo. Papanya itu baru saja mengisi gelas di tangannya dengan air dari dispenser. "Papa yakin mau memberitahu Felix?"

"Tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan selamanya. Lebih baik Felix dengar langsung dari Papa daripada nanti dia mengetahuinya dari orang lain," tukas Aldo. "Kalau anak itu sungguh-sungguh mencintai Evelyn, seharusnya masalah ini bisa diatasi."

Benar. Lisya pun tahu Felix mencintai Evelyn. Meski begitu, tetap saja ia ragu. Apakah cinta yang dimiliki adiknya itu mampu mengalahkan segala emosi yang akan timbul ketika kelak kebenarannya terungkap? Jika tidak, maka kenyataan itu hanya akan menghancurkan pernikahan mereka yang baru seumur jagung. Dan tentu saja, memberi efek domino pada hubungan Evelyn dengan keluarga Adhiyaksa. Satu hal yang paling tidak diinginkan Lisya.

Aldo menenggak air putihnya. "Evelyn sudah seperti putri Papa sendiri. Sama sepertimu. Hal itu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun."

Kalimat Papa seketika memunculkan kembali ingatan lama yang tersimpan dalam kepalanya. Ucapan Mama, kini terasa seperti ramalan yang menjadi kenyataan. Layaknya ibu dan anak, saat itu Mama dan Lisya hanya mengobrol santai. Membicarakan banyak hal secara acak. Hingga tanpa disadari, obrolan itu bermuara pada pembahasan mengenai adiknya.

"Kalau suatu saat, Evelyn jadi adik iparmu bagaimana?"

"Adik ipar," gumam Lisya. "Berarti istri Felix?"

"Ya, iya. Adik laki-lakimu, kan cuma satu."

Lisya menampilkan deretan giginya mendengar respon Mama. "Felix nggak pernah terlihat dekat---lebih dari sekadar rekan kerja---dengan perempuan mana pun selain Evelyn."

"Jadi?"

"Aku selalu membayangkan dia akan berakhir dengan Evelyn," sahut Lisya. "Tapi, masa depan nggak ada yang tahu, Ma."

"Mereka hanya perlu dorongan untuk bisa bersama."

"Maksud Mama?"

"Keduanya sama saja. Menahan diri untuk nggak bergerak lebih jauh," sahut Callista.

"Kenapa? Nggak ada yang menentang. Bahkan Mama terang-terangan mendukung mereka."

"Restu saja nggak cukup, Nak," sanggah Callista. "Mereka dihadapkan pada perasaan bersalah terhadap satu sama lain."

Lisya tertegun mendengar ucapan sang ibu. Ia langsung sadar bahwa itu semua ada sangkut pautnya dengan ulah Sony terhadap keluarga Daniswara.

"Padahal menurut Mama, mereka itu seperti... ditakdirkan untuk satu sama lain," tutur Callista dengan suara lirih. Sejak peristiwa yang menimpa keluarganya, Evelyn berubah menjadi anak yang tertutup. Berbeda sekali dengan Evelyn kecil yang Mama kenal dulu. Ada luka yang berusaha ia sembunyikan dibalik topengnya yang selalu terlihat baik-baik saja. Ada sisi dirinya yang rapuh, yang selalu berusaha ia tutupi dengan mencoba terlihat kuat.

"Mama khawatir melihatnya seperti itu. Mama ingin sekali merengkuhnya. Meyakinkannya bahwa dia tidak perlu berusaha sekeras itu sendirian. Bahwa masih ada orang lain yang peduli padanya, yang bisa ia percaya dan jadikan tempat bersandar tanpa ragu."

"Evelyn sama sekali nggak mengizinkan itu terjadi. Dia seakan nggak ingin orang lain membantunya," Lisya menambahkan.

Callista mengangguk lesu mendengar ucapan putrinya. "Begitulah." Ia mengusap lembut rambut panjang Lisya. "Mama yakin, jauh di dalam lubuk hatinya, Evelyn pasti mengharapkan ada seseorang yang bisa menolongnya. Hanya saja, dia belum menemukan orang yang benar-benar bisa dia percaya."  

The Red String of FateWhere stories live. Discover now