Part 6: Sebuah Rencana

Start from the beginning
                                    

"Betuuul, Pak!" Suara Aryo paling keras menjawab. Lana kembali melirik Aryo, cowok itu menguap dan bersandar di bahu temannya. Lana tertawa lagi. Dia juga bosan, tapi melihat tingkah Aryo setidaknya membuat Lana sedikit terhibur.

"Saya juga pernah lho merasakan remaja, dan di zaman saya—"

Seorang siswa angkat tangan. "Maaf, tahun berapa, Pak?"

"Tahun 90-an."

"Udah ada cyber sex, belum, Pak?" Kevin berseloroh dan kembai membuat ruangan riuh.

"Ada, tapi nggak banyak. Sedikit sekali."

Kali ini Marsya yang angkat tangan. "Jadi lebih banyak yang langsung-langsung aja, Pak? Padahal cyber sex kan paling aman, nggak mungkin hamil." Tawa semakin bergelora melebihi kehebohan Gelora Bung Karno sewaktu ada pertandingan sepak bola.

"Jadi, kita boleh pacaran di umur berapa, Pak? Kalau ciuman gimana, bolehnya di usia berapa?"

"Begini Pak, di minimarket dekat rumah saya ... di bagian kondom, ada tulisan remaja berseragam dilarang beli. Jadi, kalau kita beli nggak pake seragam boleh, dong?"

Pertanyaan demi pertanyaan menyerbu Pak Gunawan tanpa henti hingga beliau kelimpungan sendiri, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung menghadapi situasi. "Tenang semua tenang, tolong saya jangan dipotong dulu, nanti kan ada sesi jawab sendiri. Santai, waktu kita masih panjang. Kalian tuh masih remaja, wajar sekali kalau penasaran hal begini ... tapi sebagai remaja kita harus menjaga diri, ingat orangtua di rumah, jangan sampai dibodohi sama nafsu. Kita punya akal—"

Aryo angkat tangan. Lana meliriknya. "Apa lagi?" tampaknya Pak Gun mulai sebal karena beliau belum menyelesaikan ceritanya.

"Begini, Pak, usia remaja itu kan memang udah di tahap lagi bandel-bandelnya. Biar aja kali, Pak, jangan dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya. Kita kan harus belajar dari pengalaman sama kesalahan biar nanti kalau ada batunya nggak diulangi lagi, tapi kalau enak ... nggak apa dilanjutin."

"HAHAHAHA! Lanjut, Yo!"

"Maksud saya, Bapak kan sudah melewatinya. Kami masih di sini, lagi menikmatinya, Pak. Nanti kalau udah melewati usia Bapak, baru deh kita ngobrol lagi. Gimana, Pak?"

"Hidup Aryooo!" Jawaban Aryo seolah mewakili keresahan para remaja pada umumnya hingga beberapa bersorak-sorai menyetujui., seolah dia adalah pahlawan yang sudah seharusnya dielu-elukan. Pak Gun terlihat menyerah, beliau mengusap dada, menghadapi para siswa di SMA Utama.

Lana melihat Kevin berdiri dan pergi meninggalkan ruangan.

Gita kembali berbisik lirih. "Lan, Kak Aryo tuh makin gemesin ya, kalau lo nggak mau naksir. Gue embat nih, Lan."

"Naksir aja, kok izin aku segala? Emang aku siapa?"

****

Waktu satu setengah jam rasanya berjalan seperti seabad karena begitu membosankan. Alhasil sewaktu bel pulang sekolah berbunyi pertanda jam selesai, suara kelegaan terdengar memenuhi ruangan. Bersorak karena akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Untuk anak sekolah, hanya ada dua waktu yang mereka tunggu: jam istirahat dan jam pulang sekolah. Oh ya satu lagi: jam kosong. Lana bangkit berdiri setelah merasa kakinya kesemutan karena harus tertekuk sejak tadi.

Dia menoleh ke seberang, posisi Aryo dan teman-temannya duduk. Tidak ada cowok itu di sana.

Lana mengernyit, berpikir bahwa Aryo barangkali punya kemampuan teleportasi hingga muda berpindah tempat secepat itu. "Nyariin gue, ya? Nih di sini." Lana tersentak, nyaris saja berteriak kalau saja dia tidak segera menguasai emosinya untuk sadar bahwa ini masih berada di auditorium sekolah. Dia menoleh dan menemukan Aryo berdiri di belakangnya. "Hai." Aryo mengangkat tangan dan tersenyum manis.

"Siapa juga yang nyariin kamu."

"Terus, kenapa tadi ngintip-ngintip?"

"Nggak."

"Kalau bohong, hidungnya panjang ya?"

Spontan saja jemari Lana menyentuh hidung dan menggeleng, melihat reaksi Lana, Aryo tertawa dan mengacak lembut rambut Lana. Lana menjauh, menepis tangan Aryo untuk tidak menyentuhnya. "Besok-besok, kalau mau liatin gue ... liatin aja nggak apa, gue nggak keberatan."

"Siapa yang liatin kamu? Nggak tuh! Geer banget, ngapain juga." Lana mengerucutkan bibir, tampak jengkel, tapi sebenarnya juga malu karena dirinya ketahuan.

"Iya, parah banget gue, ya. Udah sok ganteng, geer pula!" Aryo justru merutuki dirinya sendiri. "Eh, nanti pulang bareng, yuk?"

"Aku bisa pulang sendiri." Lana segera berlalu, berlari menemui Gita yang cengar-cengir menunggunya di depan aula.

"Kurang pake susuk lo!" Indra menyindir sambil menepuk-nepuk pundak Aryo, berusaha menguatkan. "Coba lo tanya Bayu nih, gini-gini dia jago kalau udah urusan menarik hati wanita. Cailah, coba Bay, kasih tauk!"

"Dini sama tuh sikapnya kayak gitu, kalau di depan teman-temannya dia sok jaim, gengsinya tinggi banget sebagai wanita. Kau mau tahu kenapa dia bisa luluh? Bah! Ini mahal sekali ilmu yang awak kasih," Bayu menepuk dadanya, memuji diri sendiri.

"Gimana emang? Lo mau nyium Dini aja takut."

"Oh itu beda lagi masalahnya, Bung," Bayu berkilah, "dulu aku sampai manjat ke rumah dia, demi nemuin Dini. Awalnya iseng aja, sih, terus ya nekad kalau misalkan dia marah, aku siaplah terima. Ternyata di luar dugaan, dari situ dia justru mulai ngebuka hatinya karena menurut Dini perjuangan awak tuh keren."

Aryo mengernyit. "Creepy banget lo, Nyet, sampe masuk ke kamar dia. Nggak dianggap maling lu?"

"Mana ada maling setampan temanmu ini, Bung!" Bayu dan rasa percaya dirinya yang kian tinggi. "Kau coba lah tips dari awak, siapa tahu manjur!"

"Udah kayak obat kuat aja, manjur." Indra menoyor bahu Bayu, lalu langsung berlari sewaktu Bayu tidak terima dan berniat membalasnya. Aryo mendengarkan itu sambil tersenyum puas, mendadak sebuah rencana tebersit dalam kepalanya.

-----------


A/N: Btw, buat tim #dirumahaja kalian ngapain selama stay di rumah? 

Ada yang nonton film? Kasih saran dong film apa yang bagus di Netflix. 

Atau drama juga boleh!

Anyway, gimana sama part ini? Tim #AryoMarsha atau tim #AryoLana :p

Jangan lupa klik vote, ya, seperti biasa tembusin 1000 komen. Biar semangat gitu ngepostnya, thank you and see you!

DI BAWAH UMURWhere stories live. Discover now