"Teh, beli dua gratis satu lagi gak nih?" Tanya gue sama si teteh yang udah sebulan ini jadi korban rayu mulut buaya para dokter dan perawat cowok satu Rumah Sakit Jiwa. Cantik anjir, masih kuliah katanya, mirip-mirip sama Dindra Nashriyah si selebgram yang doyan travelling itu loh mukanya.

"Udah enggak dok, kemaren kan promo, produk baru."

"Bujuk, pastel abon mah produk lama, harusnya isian boba nih biar kekinian."

Si teteh yang belum gue ketahui namanya itu ketawa, "Boleh tuh, inovasi buat kedepannya. Nih ada pisang goreng, sengaja saya sisihin soalnya dokter Johan gak pernah kebagian."

Tau aja dia kalo gue suka banget pisang goreng dan sering keabisan tiap jajan kemari, "Widih, masih anget. Sekalian teh manis angetnya satu dong teh, biasa ya, jangan terlalu panas aernya."

Sambil nunggu dia bikinin teh anget, gue gak henti ngeliatin setiap pergerakannya dimulai dari ngambil gelas, masukin gula, nuangin air panas, hingga nyelupin kantong teh kedalam air tersebut. Pantes aja satu RSJ heboh, orang si tetehnya lebih cocok jadi pemain sinetron dibanding ngegoreng pisang dan bikin kopi atau teh manis anget.

"Namanya siapa sih, teh?"

Dia melihat gue lalu tersenyum tipis, "Laila, dok."

"Hah?" Gue memekik kaget, "Yang bener? Apa jangan-jangan teteh lahir malem juga yak?"

"Iya haha, saya lahirnya malem jadi dikasih nama Laila. Tapi panggilannya Dara, soalnya nama saya Laila Adara." Dia menjelaskan, "Kenapa kok kayak yang kaget gitu?"

Posisi duduk gue yang semula ngangkang diatas bangku sontak menegak, "Teteh tau gak nama saya siapa?"

Posisi duduk gue yang semula ngangkang diatas bangku sontak menegak, "Teteh tau gak nama saya siapa?"

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

"Johan, dokter Johan."

"Bukan, nama saya Allail Johan Rachmadi. Allail dan Laila. Artinya sama, malam."

Mulutnya sedikit terbuka, dia baru selesai membuatkan gue teh manis anget dan sekarang sedang berdiri tepat dibelakang counter jualan. Perempuan itu menyimpan gelasnya dihadapan gue, lantas melihat gue penuh antusias dengan senyum yang mengembang lebar di wajahnya.

"Wah, Allail, bagus." pujinya, "Sama-sama lahir malem ya?"

Gue mengangguk, "Tepat sekali, kata Ibu saya sih gitu. Kalo saya udah lupa, gak inget apa-apa."

"Terus anaknya lahir kapan? Malem juga? Namanya siapa?"

Anak? Anak siapa? Dia lagi ngomongin siapa sebenernya?

"Anak ... apaan sih, anak kucing mah iya saya punya, di rumah." Jawab gue yang beneran gak paham sama arah bicaranya.

"Ih, anak dokter lah!"

"ASTAGA!" tadinya pengen bilang anjing, tapi gue lumayan anti ngomong kasar apalagi dihadapan perempuan. "YAELAH TEH, KAWIN AJA SAYA BELOM, ANAK DARIMANA!"

TIGA BELAS JIWADove le storie prendono vita. Scoprilo ora