Ketika merasa kesepian, ingatlah mungkin ada orang yang peduli tapi tidak kita sadari karena terlalu abai. Bukan karena tidak peka, tapi karena hati terlalu lelah berharap.
•
•
•“Terus sekarang kondisi adek kamu gimana?”
Ilona menarik napas cepat hingga bunyi ingus yang ditarik. “Besok operasi.”
Wildan mengangguk, “Semoga operasinya lancar. Kamu yang tenang ya, insyaAllah meskipun patah tulang tapi dia bisa sembuh." Wildan menghela napas panjang. "Aku paham banget, dulu pas tahu patah tulang juga mikirnya bakal cacat seumur hidup eh ternyata dikasih kesempatan buat masih bisa pakai kaki-kaki ini.” kenang Wildan sambil memijat kedua pahanya.
Bahkan sampai sekarang Wildan masih bisa pakai kakinya dengan normal. Main basket juga bisa, lancar-lancar saja.
Ilona senyum. Dalam hati membatin, kapan ya Wildan perginya, soalnya mau nangis jadi ketahan. Nggak enak mau nangis di depan orang. Maunya nangis pas lagi sendirian aja. Nangis senangis-nangisnya sampai air mata ke mana-mana, sampai bengkak dan mata sampai sakit.
Habis itu biar bisa bersikap biasa aja seolah tidak habis terjadi apa-apa. Ambyar tapi nggak mau orang lain tahu, cukup ambyar sendiri saja.
“Udah makan?” tanya Wildan kemudian.
Dari ekspresi wajahnya dan dari sikap Ilona yang nggak langsung mengangguk, Wildan bisa menebak kalau anggukan Ilona barusan adalah bohong.
Dan keyakinan Wildan diperkuat dengan suara perut keroncongan. Semesta memang sedang tidak berpihak pada kebohongan Ilona.
Wildan tertawa kecil sambil membatin, Ilona lucu juga. Wildan yakin, Ilona pasti sedih banget sama keadaan adiknya pasca kecelakaan. Siapa sih keluarga yang tidak syok tahu anggota keluarga mereka ada yang patah tulang karena kecelakaan?
“Tadi aku udah makan soto, tapi makan dua kali nggak masalah sih.” ajak Wildan dengan nada seramah mungkin. Berusaha bikin Ilona nggak merasa risih.
YOU ARE READING
WILDAN
Romance"I am not what happened to me, I am what I choose to become." - Carl Jung. ©start: February 15, 2020