01 - Beginning

127 29 41
                                    

Tahun 2152. Distrik 2, Arizona, Amerika Serikat.

BYUR.

Tubuh gadis bernetra biru laut itu seketika terasa beku saat terkena air yang disiramkan Ayahnya bercampur dengan dinginnya suhu udara pagi ini. Ia hendak membuka matanya, namun rasa kantuk yang kian berat mengalahkan rasa dingin yang menggerogoti sekujur tubuh. Semalam ia tak bisa tidur, bahkan ia sudah menghitung domba sampai 4379.

"Cepat bangun, sleepy head!" James menarik selimut basah yang membungkus tubuh putrinya. Bukannya segera bangun, gadis itu malah merespon dengan bergumam tidak jelas.

"I said wake up, Ally!" Mendengar sang Ayah sudah menaikkan suaranya beberapa oktaf, gadis itu lantas bergegas bangun dan melesat ke kamar mandi. Mengingat bahwa James tak segan menarik putrinya hingga jatuh kalau ia tak kunjung bangun.

"I'm awake!" seru gadis itu dari dalam kamar mandi.

Allison Winter Hoogan. Jujur Allison tak habis pikir kenapa dari sekian banyak nama yang indah, bisa-bisanya sang Ayah memberi nama tengah yang sangat tidak kreatif. Bukan tanpa sebab Allison memprotes nama tengahnya, fakta bahwa Allison yang lahir di musim panas sukses membuatnya menggeleng-gelengkan kepala.

Allison hanya tinggal dengan Ayahnya. Yang Allison ketahui dari Ayahnya hanya saat ia berumur 2 tahun Ibunya yang merupakan seorang ilmuwan pergi demi kepentingan pekerjaan. Namun hingga Allison menginjak usia remaja, ia belum pernah bertemu dengan Ibunya kembali. Allison hanya mengingat wajah Ibunya melalui selembar foto saat ia masih bayi di dalam gendongan Ibunya.

Manusia sejenis Allison tak akan membiarkan kepalanya yang berharga menjadi pusing akibat memikirkan hal-hal yang terlalu rumit untuk diratapi. Ia masih bersyukur bisa tinggal dengan Ayahnya walaupun sering terjadi perang sipil antara Ayah dan anak. Bayangkan jika Allison harus hidup sendirian ditengah hancurnya dunia seperti pada saat ini. Mungkin sudah lama ia menjadi bagian dari mereka karena terlalu malas mengurus diri.

Allison keluar dari kamarnya dengan mengenakan jeans hitam, hoodie abu-abu dan beanie hitam. Ia tak terlalu suka banyak campuran warna. Katanya itu bisa membuatnya buta warna karena terlalu banyak warna yang mencolok---sungguh sebuah pernyataan konyol yang sangat tidak logis.

Ia lantas bergegas duduk di meja makan. Di depannya tersedia panekuk dan segelas susu. James---Ayahnya---tengah sibuk melihat hologram yang menyiarkan perkembangan dunia pada saat ini. Hening beberapa saat sampai Allison membuka percakapan dan menghentikan aktivitas James.

"Um ... Dad, aku tidak ingin datang ke sekolah, bagaimana jika hari ini aku bolos?" tanyanya dengan nada berhati-hati.

Sekolah pada zaman ini bukan berisi tentang pelajaran-pelajaran yang selalu membuat murid mengeluh. Tapi lebih tepatnya berupa tempat pelatihan bagaimana cara bertahan hidup ditengah keadaan yang mematikan seperti pada saat ini. Sudah bisa dipastikan bagaimana sulitnya mengikuti materi-materi yang diberikan.

"Kau tahu betul bagaimana jawabanku," kata James lalu menyeruput kopinya dengan asap yang masih mengepul.

Allison meringis. "Tidak boleh."

"Tepat sekali! Baiklah habiskan sarapanmu. Dad berangkat duluan. Jangan lupa mengunci pintu, kau bawa kuncinya---"

"Dad sudah bawa kunci cadangan. Ya-ya aku paham." Allison memotong perkataan James dengan menirukan gaya bicaranya.

"Kau memang yang terbaik dalam hal menirukan seseorang," kata James mengacak puncak kepala Allison sehingga membuat beanie hitamnya bergeser.

"Itu perkataamu setiap pagi kau tahu."

Deadly WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang