14. Desta

315 52 12
                                    

Aku bukannya nggak senang melihat Sherin, tapi kedatangan dia timing-nya nggak tepat banget.

Sebagai junior baik, aku tetap ramah kepadanya. Tapi Hesti, dia berdehem keras banget sambil terus makan lahap.

"Loh Desta, kok makan di sana. Ayo, jadi nggak rencana kita tadi pagi?"

"Maaf Kak, sepertinya nggak bisa. Ini, aku udah makan sama Hesti. Aku nemenin dia makan. Kasihan dari tadi pagi belum makan."

"Siapa yang minta ditemenin?" sahut Hesti, nggak bisa diajak kongkalikong. "Lo maksa gue makan--"

Aku sumpel mulutnya pakai paha ayam, biar nggak berisik. Dia balik memandang jengah kepadaku.

Supaya sopan, aku bangkit menghampiri Kak Sherin yang duduk di motornya, agak jah dari Hesti.

"Padahal aku udah mesen rawon setan tugu Pahlawan, loh," kata Sherun. "Kamu tahu kan, tempat legend itu bukanya menjelang magrib dan harus mesen dulu."

"Maaf, Kak." Aku memasang wajah memelas, merendahkan suara supaya si Sus nggak dengar. "Hesti tadi beneran laper, maksa aku makan."

"Yaudah makan lagi aja nggak apa apa." Dia menepuk perutku. "Aku yakin, perut cowok kuat pasti mampu menampung banyak makanan. Sekarang ambil motormu, kita pergi. Kalau perlu tuh temanmu bawa sekalian."

"Oi, busnya udah kelihatan tuh!" Keluh Hesti.

Aku beri kode supaya Hesti menunggu sebentar, lalu fokus ke Kak Sherin. "Maaf banget Kak. Motorku dibawa teman. Jadi, acaranya dibatalin aja, gimana?"

"Batalin?" Sherin berdecak.

"Oi mau pulang nggak lu?" Cetus cewek sus di belakangku.

Aku sengaja nggak menoleh ke Hesti, fokus ke Sherin. Aku tahu, sebagai lelaki omonganku harus bisa dipegang. Tapi, ayolah. Aku nggak tahu kalau semua bakal seperti ini dan aku kira Sherin cuma basa basi aja tadi pagi.

"Kalau ditunda aja gimana?" tawarku.

Belum sempat Sherin menjawab, suara bus melintas membuatku panik. Di halte hanya ada beberapa om om berkemeja kerja yang baru datang, sementara Hesti kayaknya udah di dalam bus.

Buru - buru aku berlari mengejar bus kota. Gawat kalau sampai misah dari Hesti. Kan tujuanku mau nolongin dia.

Beruntung bus melambat dan aku melompat masuk melalui pintu belakang bus. Situasi bus sedikit renggang, tiada penumpang berdiri. Aku menjelajah mencari Hesti, menemukannya duduk di dekat kaca jendela.

Aku hendak menempati kursi kosong di sebelahnya. "Wiih, udah bisa naik bus sendiri, berarti udah sehat."

"Bodo ah." Sewot jawabanya. "Bukan urusan lo juga." Dia menaruh tasnya ke bangku kosong. "Duduk tenpat laen!"

Aku berdecak kesal. Nih bocah maunya apa, sih? Aku mengamati sekitar. Ada bangku kosong di deretan paling belakang. "Nggak ada tempat lagi."

"Yaudah, berdiri."

Nenek di seberang bangku tertawa kecil. "Ayo, biarin temannya duduk. Atau Nenek yang berdiri, nih?"

Maghnetic LoveWhere stories live. Discover now