"Kamu tidak meminum obatmu lagi? Kamu tidak tidur!"

"Aku rindu Kaisar ...." Lalu perempuan itu berubah ekspresinya seakan hendak menangis.

Chen mendengkus, kemudian masuk bahkan tanpa dipersilakan. Mengambil duduk di sofa panjang, sementara si perempuan masih berdiri di hadapan pintu yang sudah menutup.

"Kemari, Puri ...," ajaknya lembut.

Puri menoleh terlihat ragu.

"Kemari, Puri ...."

Perempuan itu menelisik bisikan yang terdengar di telinga. Terdengar familiar dan membuat nyaman. Maka dia melangkah mendekat.

"Duduk."

Puri pun duduk dengan patuh, bersebelahan dengan Chen di sofa panjang.

"Chen, aku rindu Kaisar ...." Tangis gadis itu pun pecah.

Chen memandang gadis di sebelahnya dengan napas yang terhela berkali-kali. Membiarkan perempuan itu menangis sejadi-jadinya, sebelum berkata, "Kamu meminum obatmu?"

Puri mengangguk. 

"Tapi kamu tidak juga bisa mengendalikan diri."

"Rindu banget, Chen!" Suara Puri meninggi di sela tangis, matanya yang merah membelalak menatap Chen sementara napasnya terengah.

"Dia berselingkuh!" Chen mengingatkan. "Siapa pasangan selingkuhnya? Kamu pasti tahu."

Suara tangis Puri berhenti seketika, sengguknya bahkan sudah hilang sama sekali. Mata bulat yang memerah itu menatap Chen dengan garang.

"Aku ingin sekali membunuh perempuan itu tiap kali mengingatnya," ujarnya dengan gentar. "Apa aku memang sudah membunuhnya ya? Semoga sudah, karena aku enggak mau dia bertemu dengan Kaisar lagi."

Chen menghela napas lelah, lalu bangkit dari duduk. Otaknya berputar keras. Akan sia-sia menanyakan tentang Kaisar pada perempuan di hadapannya ini jika otak yang melekat tidak pernah lepas dari; rindu Kaisar, ingat Kaisar. Bahkan ketika mengingat perselingkuhan kekasihnya yang sudah mati, yang ada di benak Puri hanya Kaisar dan Kaisar. 

Sinting! Oh, maaf. Kenyataannya dia memang sinting.

"Apa kamu ingat tampangnya? Namanya?"

"Siapa? Perempuan sok kaya itu?!" Puri mendekatkan wajah ke wajah Chen, membuat pria itu semakin miris menatapnya.

Chen ingat pertama kali saat gadis imut itu datang ke tempatnya. Saat itu, sendirian. Dia gemetar, beberapa kali terlihat nyaris meledak meski sudah berhadapan dengannya di ruang konsultasi.

"Ada yang berbisik," ucapnya kala itu setaya meletakkan telunjuk di bibir. Bola matanya bergerak-gerak liar sebelum akhirny menatap Chen dengan gelisah. "Dia mengikutiku. Dia bilang, Kaisar harus mati. Tolonglah! Yang membisikiku ini gila!"

"Tidak ada siapa pun yang bersama Anda."

"Pak ...." Puri merapatkan cardigan merah muda yang dikenakannya. "Aku ke sini agar Anda bisa membantuku mencari asal suara. Aku nyaris gila!"

Lalu suatu ketika perempuan berambut ikal itu datang lagi, kali ini dengan seorang pria berperawakan tegak yang langsung dikenali Chen dengan sekali melihat.

Siapa yang tak kenal dengan Kaisar Hengkara? Seorang pengusaha IT yang sering muncul di televisi karena sukses di usia muda. Garis-garis tegas pada rahang lelaki itu, membuat Chen berspekulasi dalam sekali lihat. Lelaki itu, adalah lelaki dengan ketegasan luar biasa dengan aura yang terlalu benderang hingga mampu menenggelamkan sekitarnya.

Chen tidak bisa membaca masa depan, dia hanya mengira-ngira. Mungkin karena terlalu sering bertemu orang dengan kesakitan berbeda. Menurutnya, lelaki itu--Kaisar--juga sakit.

KEEP SILENT (Completed) - TerbitМесто, где живут истории. Откройте их для себя