"Rumah siapa ini, Ren?" tanyaku penasaran.

"Rumah keluarga gue, Nay, yok masuk," ajaknya.

Aku mengikuti langkahnya yang mulai membawaku ke kumpulan keluarga Narendra.

"Naya?" tanya seorang perempuan.

"Iya, Tante." Aku tersenyum sopan mengingat perempuan paruh baya itu adalah bundanya Naren.

"Lama banget nggak ketemu kamu, Nay. Mamamu baik-baik aja kan?" Tante Ilma terlihat sangat bersemangat.

"Ehem!"

Suara deheman itu mendistraksiku dan kulihat ada om Johan-ayahnya-Naren di sana. Ia menatapku dengan tatapan yang aku sendiri tak mengerti.

Naren langsung membawaku ke meja bulat yang sudah dipenuhi oleh makanan dan lauk pauk.

"Makan dulu yuk, Nay," kata tante Ilma.

"Duh maaf banget, Tante. Aku baru aja abis makan," tolakku halus supaya tidak melukai tante Ilma yang dulu sangat rajin membjahitkan baju untukku.

"Kita tunggu Leana sama Ares dulu," kata om Johan.

Aku yang tak tahu apa-apa malah makin bingung mengapa ada Leana dan Ares di tempat ini?

Tak berapa menit aku mendapati Ares masuk muncul bersama Leana, dan juga tiba-tiba ada Dita di belakang dua sejoli yang sedang bercengkrama akrab.

Aku senang setelah melihat Dita yang melambaikan tangannya padaku. Ia langsung menyikutku ketika kami sudsh bersebelahan.

"Kabarnya ada sesuatu yang mau disampaikan, om Johan," bisik Dita.

"Apaan?"

"Mana gue tahu, kita dengerin aja." Dita menormalkan ekspresinya.

Aku benar-benar heran dengan apa yang terjadi sekarang.

"Selamat datang semuanya, om di sini mau mengabarkan bahwa mulai saat in-"

Kepalaku mendadak pusing sesuatu seperti saat ini serang terputar di otakku. Aku memegangi kepalaku yang terasa berdenyut kencang seperti ditusuk jarum. Aku meraih bahu Dita, dan kemudian tiba-tiba sebuah kejadian di masa lalu muncul di kepalaku.

"Nay? Lo kenapa?" tanya Leana lembut.

Aku mengangkat wajahku sejenak melihat ke arah Leana.

"I'm okay," lirihku pelan dengan napas terengah-engah.

Di kepalaku terlintas wajah anak kecil berambut panjang sedang tertawa terbahak melihat anak kecil yang lain sedang terduduk.

Tiba-tiba kepalaku semakin berdenyut.

"Nay, lo nggak lucu?" Suara itu amat aku kenali.

Aku sedang tak melucu, seperti yang Ares kira. Aku benar-benar tak mampu menahannya lagi.

"Dit, anterin gue pulang," bisikku masih berusaha menahan denyutan yang mendadak datang.

Dengan susah payah Dita membopongku hingga masuk ke dalam mobilnya, aku mendadak merasakan sesuatu yang menyayat hati. Tapi, entahlah apa itu.

Berkat pertolonga Dita aku sudah sampai di rumah. Aku sudah berada di kamarku dan memandangi mama tampak sangat khawatir, air mukanya sangat jarang sekali aku melihatnya. Terakhir aku melihat mama seperti itu saat kehilangan papa.

"Nay? Kamu kenapa, Nak?"

Aku menggeleng pelan, kepalaku tadi mendadak sakit dan rasanya sudah hampir meledak. Untung sekarang sudah agak mendingan.

"Cuma mendadak pusing aja, Ma," jawabku lemah. Sungguh benar-benar lemah saat ini.

Mama memberiku segelas air minum. Aku langsung duduk dan langsung meminum hingga tandas.

"Benar kamu nggak apa-apa?" Masih terlihat jelas mama sangat khawatir dengan keadaanku.

"Iya, Ma. Aku mendadak pusing dan sesuatu yang aneh muncul dari otak sekelebet kejadian yang aku sama sekali nggak mengerti."

Mendengar keluhanku, wajah mama menegang. Aku bingung apa yang sedang terjadi sebenarnya?

"Apa yang kamu ingat?"

"Pertengkaran dan pembullyan," jawabku berusaha mengingatnya namun semakin aku mencoba mengingat semakin terasa sesuatu berdenyut di kepalaku.

Aku tidak tahu apa yang terjadi, yang ada sekarang aku melihat mama seperti menahan tangis. Apa sesuatu yang buruk akan terjadi?

"Ma? Mama kenapa?" Aku menyadarkan mama, dari lamunannya.

"Eh iya, mama sedih aja liat kamu yang jarang sakit, tiba-tiba mendadak terkulai lemah di rumah ini." Mama mengelus bahuku lembut.

Aku tak butuh apa-apa sekarang, aku hanya ingin istirahat.

***

Genks jangan lupa cuci tangan setelah berpergian, buat yang nggak ada kerjaan mending #Dirumahaja nggak usah ke mana-mana...

-March 26, 2020-

Miracle In 29thWhere stories live. Discover now