16 (b)

198 22 1
                                    

Aku memilih cincin yang menurutku sangat manis dan simple, karena Ares yang tidak mau berlama-lama di sana, akhirnya ia setuju dengan cincin pilihanku.

Setelah itu Ia mengajakku makan di salah satu resto yang tak jauh dari tempat kami membeli cincin tadi.

"Kenapa lo nggak ngajak Leana sendiri buat milih cincin nikah kalian?" tanyaku di sela-sela menikmati makananku.

Ares menghela, "Gue mau buat surprise di ulang tahunnya." Ares terluhat mantap dan ada percikan bahagia dari raut wajahnya.

"Oh gitu, selamat ya, Res. Gue senang lihat lo senang," kataku tulus.

Ares memandangiku seolah ada yang mau ia katakan namun terhenti karena ponselnya bergetar.

"Leana," katanya menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan nama Leana.

"Yaudah lo angkat," suruhku.

Ares langsung bangkit dan menjauh dari tempatku. Aku menikmati makananku yang mendadak terasa hambar.

"Nay, lo gue tinggal sendirian nggak apa-apa? Soalnya gue mau jemput Leana di bandara. Atau lo mau ikut gue dulu?" tanyanya terlihat tak enak.

"Lo lanjut aja, Res. Gue bisa pulang sendiri, kasihan makanannya kalau nggak dimakan."

Tak menunggu waktu Ares langsung pergi meninggalkanku sendiri lagi. Tiba-tiba air mataku terjatuh tanpa permisi. Aku bingung mengapa rasanya jadi aneh begini. Air mata yang selama ini aku tahan-tahan akhirnya terjatuh kembali.

Aku heran dengan diriku sendiri yang entah mengapa berharap kalau Ares tak jadi menikah dengan Leana. Anggap aku jahat, tapi hati manusia siapa yang bisa ngontrolnya.

Aku memakan makanan di depanku dengan lahap, tanpa aku sadari seseorang sudah duduk di depanku. Aku mebgangkat wajahku yang masih berair. Di sana ada Bima yang tersenyum lembut seolah mengatakan kalau semuanya baik-baik saja.

"Lo tahu alasan gue meninggalkan lo waktu itu, Nay?" tanyanya tiba-tiba.

Aku menggeleng dan kesal bukan main kalau diingat-ingat.

"Lo terlalu bodoh untuk memahami diri lo sendiri," ucapnya lirih.

Aku memandanginya yang mengambil tisu dan memberikannya padaku.

"Kadang sekuat hati kita menolak sesuatu, sekuat itu juga tingkah kita menunjukkan kalau kita berbohong."

"Jangan bohongin diri lo sendiri lagi, Nay." Bima mengelus rambutku pelan.

Aku langsung menepisnya kasar.

"Bukan muhrim!" ketusku yang membuat ia terbahak.

"Udah sih jangan nangis lagi, entar gue khilap, Nay."

Aku menatap langit-langit supaya air mataku tidak turun lagi.

"Sebenarnya gue mau nganterin lo pulang, tapi kayaknya ada yang lebih berhak buat ngantar lo pulang." Bima melihat ke arah belakangku, akupun menoleh.

Ada Naren yang melambaikan tangannya santai.

"Kok bisa lo di sini?" tanyaku langsung ketika Naren sudah ada di depanku.

"Ares yang telpon, nyuruh gue buat jemput lo di sini," katanya lagi.

"Oh gitu, padahal gue bisa pulang sendiri."

"Yaudah Ayok, gue anterin." Naren tersenyum sibgjat melihat Bima.

Dan aku tak berniat memperkenalkan mereka.

Bukannya mengantarku pulang, Naren malah membawaku ke sebuah rumah yang luar biasa besar, hampir sama dengan rumah Ares. Bedanya rumah ini lebih besar dan isi di dalamnya lebih padat.

Miracle In 29thWo Geschichten leben. Entdecke jetzt