8. Desta

364 66 7
                                    

Setrlah jogging, aku beristirahat di taman kompleks. Hari ini ramai irang jogging di lapangan basket.

Aku tersrnyum mengingat dulu latihan basket dengan Hesti di sana. Entah kenapa, setelah bertahun - tahun berlalu dan banyak wanita aku pacari, senyum Hesti masih terngiang - ngiang dalam sepiku.

Aku udah berusaha minta maaf, tapi setiap kali bertemu malah diem - dieman, kalaupun bicara pasti bawaannya ribut.

Andai kami nggak bertengkar. Andai Kiki brengsek nggak main - main. Ya, aku tahu dari beberapa teman ulah nakal dia dan bagaimana Hesti menolak cintanya kala SD.

Semenjak kejadian itu, dia nggak pernah datang ke rumah lagi. Bagus lah. Ular sudah nggak datang datang lagi.

"Desta, kau udah denger kalau Kiki masuk Hang Tuah." Debi datang bersama Dian, berbag bangku panjang.

"Aku nggak nyangka loh, dia ternyata pintat," sambung Dian.

"Pinter apaan, dia masuk jalur mandiri," sahutku.

"Kau masuk mana Desta?" tanya Debi.

"Kalau Hesti masuk Gakaya, sama aku," celetum Dian.

"Bodo amat dia masuk mana." Hmmm, jadi Hesti di Gakaya, ya.

"Kamu nggak pingin apa, ke Gakaya," tanya Dian. "Banyak cewek gantengnya, loh."

"Baah, ngapain? Dian kamu di Gakaya juga kan?"

"Ho oo, nemenin Hesti. Debi, kamu masuk Gakaya juga yuk, sama aku," ajak Dian, dengan penuh harap.

"Sebenarnya pingin, tapi bayarnya mahal. Aku masuk SMK Permotoran aja, biar langsung kerja."

Debi emang beda. Dari semua teman - temanku, dia yang kata Mama dewasa dini. Dari kecil dia bantu keluarga kerja. Dia jarang ada waktu buat hura - hura.

Dari obrolan keci tadi, aku putusin masuk SMA Gakaya juga. Mungkin di sana aku menemukan kesempatan buat menjelaskan semua ke Hesti.


Ketika Dian beli bubur, Debi menenggorku. "Hesti tambah cantik ya. Kau udah denger belum, dia nolak Rafael, nolak Mahmud, nolak Rizki. Kayaknya dia nungguin kau deh."

"Apaan sih. Ngapain nungguin aku. Emang aku pantes buat dia?"

"Pantes aja. Kau dulu juga latihan basket sama dia, cocok."

"Emang kamu lihat?"

Debi mengangguk. "Aku sama Kiki lihat, kok. Pas itu Kiki nemenin aku beli bulpen sama buku pelajaran."

"Hesti udah punya cowok di sekolahmya dulu?"

"Entah. Ke apa kau tanya aku? Tanya aja orangnya langsung."

Aku menggeleng kecil. "Ntar besar kepalanya kalau aku nanya begitu."

"Heleh. Gaya kau selangit. Kau cuma takut deketin dia. Hayo ngaku."


Aku tinju perut Debi dengan tinjuan persahabatan. "Nggak lah. Pacarku cantik cantik. Dia mah apa?"

"Kau berapa kali ganti pacar Desta? Itu tandanya kau nggak cocok sama mantan - mantanmu itu. Coba pacaran sama Hesti."

"Pacaran sama cewek dada tepos begitu? Apa asiknya?" Jawabku. "Lagian dia bar bar banget. Salah dikit ntar aku digepuk."

"Ya kan sekarang kau udah kuat, udah latihan Karate. Masak masih takut sama Hesti. Cemen kau. Jujur. Satu kalimat buat segala masalah kau."

Aku ikut Karate juga lantaran biar nggak dikatain oleh Hesti lagi. Semua kehidupanku berubah karena Hesti.

"Aku nggak sangka kalau cowok ternyata suka gossip juga," Dian datang bawa nampan berisi tiga mangkuk bubur. "Nih Desta, aku traktir karena aku berhasil masuk Gakaya. Ayo, jangan malu - malu dan jangan berani nambah, ya."

"Yee dasar... makasih." Lalu, aku berbisik ke Debi. "Bi, kalau sama Dian kamu jangan pernah cerita masalah aku dan Hesti, ya. Dia temen baiknya Hesti."

Singkat cerita, aku berhasil masuk SMA Gakaya. Semua situasi baru dan nggak ada temanku selain Dian dan Hesti ya g bersekolah di sana.


Kalian tahu kan, perasaan masuk ke sekolah baru tanpa ada wajah lama yang kalian kenal?

Bagaimana senior di SMA baruku kelak? Apa mereka suka mem-bully murid baru?

Pagi pagi aku berangkat ke sekolah baru. Kata Mama, aku harus datang lebih pagi supaya nggak terkena macet dan aku mengikuti perintah beliau.

Gelal langit, dingin udara pagi membuku menggigil dan sunyi jalanan Surabaya membuatku mampu mengegas motor sekencang mungkin.

Sesampainya di SMA, malah masih sepi. Bahkan petugas kebersihan masih menyapu dedaunan kering di trotoar depan kompleks sekolah SMA Gakaya. Aku bebas memilih lokasi parkir. Kumatikan lampu motor dan bersiap dengan segala perlengkapan ospek.

Tiba - tiba motor scoopy putih datang dari arah gerbang. Cahaya lampu sorotnya membuat silau. Dia berhenti nggak jauh dari lokasiku berada. Motornya oleng dan pengendara gagal menstabilkan motor.

Sigap aku tarik gagang motornya supaya nggak jatuh ke samping.

"Aduuh makasih ya." Cewek yang nyupir ketawa sendiri. Dia menstang motor dan gugup memandangku.

Aku bertanya, "Kamu nggak apa apa?"

Dia mengangguk sambil melepas helm dan membiarkan rambut panjangnya jatuh ke belakang punggung. "Makasih ya, sudah ditolong. Duh, efek kurang tidur."

Aku ketawa kecil menanggapinya. Sepertinya dia senior.

"Sebenarnya kamu nggak boleh parkir di sini." Cetus si senior. "Di sini parkiran buat senior. Di sana tuh, parkirnya junuir." Dia menunjuk area lebih jauh dalam area parkir.

"Jadi harus pindah?"

"Nggak, nggak apa apa sih, parkirnya tapi deket motorku ya. Nanti aku bilang ke senior yang lain kamu kenalanku."

"Waduh... jadi sungkan aku."

"Nggak apa apa. Toh kamu udah nolongin aku tadi. Oh iya. Namamu siapa?"

Kami berkenalan dengan berjabat tangan sambil melangkah menuju lapangan. Nama dia Sherina Adiguna. "Panggil Sherin bisa Nana bisa Rina juga oke. Jangan Adi atau Gun aja, ntar dikira cowok."

Aku ketawa lagi. Kali ini beneran lucu. Kami duduk di bawah pohon jambu monyet, menunggu acara dimulai.

Sherin orangnya kalem dan perhatian. Dia banyak bertanya mengenai asal usulku, seperti SMP dimana dan juga kesiapan perlengkapan MOS.

"Sip, semua beres. Nanti kalau ada yang nyuruh nyuruh atau bentakin kamu, ladenin kalem aja. Mereka cuma begitu pas MOS doang kok. Kalau ada apa apa, lapor aja, bilang kalau kamu kenalan Kak Sherin IPA B 11, anggota OSIS."

Aku mengangguk Pelan sambil memangku perlengkapan MOS. Matahari mulai bersinar terang dan menghangatkan suasana. Semakin banyak murid berdatangan.

"Desta, aku pergi dulu ya. Semoga lancar MOS-nya." Dia bangkit melambai ketika pergi, menemui beberapa gadis senior. Mereka sempat mengintip ke arahku.

Sherin menjadi kenalan pertamaku di SMA Gakaya. Beruntung banget mengenal senior baik. Semoga saja sisa senior lain sebaik dia.

"Guede banget ya, gedungnya. Ada empat gedung, mana empat tingkat semua. Udah kayak hotel!"

Suara yang aku kenal muncul dari arah gerbang utama. Ketika menoleh, aku mendapati wajah yang nggak asing lagi. Akhirnya mereka datang juga.

Semoga kami bisa satu kelompok.

****
Jangan lupa vote ya. Makasih.

Maghnetic LoveWhere stories live. Discover now