[1] who are you, stranger?

Comincia dall'inizio
                                    

Wildan penasaran dengan apa yang terjadi sama Genta yang literally tidak punya pengalaman silat. Nah, sebelum mereka mulai gelut, terlebih dahulu Genta diajarin dasar-dasar silat. Setelah kelihatannya Genta sudah paham, mereka pun mulai duelnya.

And guess what? Genta yang tinggi besar dan pastinya berat itu, bisa dibanting dengan sangat mudah sama mbak-mbak cantik yang ukuran badannya let’s say cuman separuhnya Genta.

And guess what? Genta yang tinggi besar dan pastinya berat itu, bisa dibanting dengan sangat mudah sama mbak-mbak cantik yang ukuran badannya let’s say cuman separuhnya Genta

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

Sumpah, Wildan ketawa ngakak lihat Genta dibanting. Waktu lagi ketawa ngakak, Wildan tidak sengaja lihat ada sebuah stand yang cukup rame. Kalau dilihat, yang datang ke stand itu rata-rata yang punya angelic face atau aura orang baik-baik. Wildan jadi penasaran dan akhirnya memisahkan diri dari Genta.

Begitu Wildan sampai dan baca, rupanya ini stand difcare alias peduli difabel. Salah satu unit kegiatan mahasiswa yang bikin Wildan penasaran banget sejak baca profilnya di buku saku maba.

Kating yang jaga stand tersebut lagi menjelaskan kegiatan yang ada di unit difcare ini waktu Wildan tiba. Kedengarannya seru dan mulia. Wildan pun tidak segan-segan mendaftarkan dirinya.

“Berarti kita juga bisa ikut kelas-kelas kayak bahasa isyarat gitu-gitu dong, Kak?” tanya Wildan sambil membaca brosur yang baru saja dikasih.

“Iya, bener banget. Kita rutin ngadain kelas-kelas bahasa isyarat dan pokoknya kegiatan kita seru dan bermanfaat banget. Juga buat bantu ningkatin awareness kalau difabel itu bukan berarti disable. Kita bisa kok melakukan hal yang dilakuin orang pada umumnya.”

Dan Wildan baru menyadari satu hal, kalau katingnya ini ternyata seorang tuna daksa di mana dalam kasusnya, salah satu tangannya tidak tumbuh sempurna. Secara keseluruhan dia nggak beda kok, cuman tangannya aja. Wildan juga baru ngeh setelah lihat tangan katingnya itu yang aktif banget gerak selama ngomong.

“Siapa aja boleh daftar kan, Kak?” tanya seorang cewek tomboi yang sempat mengira kalau jangan-jangan yang join khusus mahasiswa difabel.

“Yup, siapa aja boleh daftar.” Jawab perempuan itu sambil tersenyum ramah. Sebut saja namanya Aruni. Aruni pun memperkenalkan salah satu temannya.

“Halo gue Bagas.” Ucap cowok berkacamata itu sambil nyengir hingga behelnya kelihatan.

“Jadi Bagas ini jago banget bahasa isyaratnya. Di sini ada yang bisa bahasa isyarat juga atau tahu sedikit-sedikit?” pancing Aruni.

“Saya bisa, Kak.” Seseorang dari kerumunan angkat bicara. Yang lain pun segera memberi ruang supaya cewek itu bisa terlihat oleh yang lain.

Bagas dan maba itu pun berkomunikasi. Orang-orang melihat ke arah mereka dengan takjub karena itu bahasa yang cukup asing buat mereka. Tapi dari sorot mata mereka semua, mereka kelihatannya penasaran dan ingin sekali bisa belajar juga.

Wildan terus memperhatikan cewek yang berdiri tepat di sebelah kanannya itu dengan seksama. Sampai mereka berdua tidak sengaja melakukan kontak mata. Cewek itu tentu kerasa kalau ada yang sedang natap dia.

WILDANDove le storie prendono vita. Scoprilo ora