Perbincangan Dunia

2K 317 84
                                    

[ KIRA ] - Cerpen ini dibuat kala isu perang duni a ke-3 mulai naik.

***

Sosok itu duduk di bangku beranda. Menghela napas menghadap matahari, menyentuh permukaan leher dan bahunya yang tengah tergenang air keruh. Jemarinya yang berupa batu-batu tua nan kokoh meremas, berupaya menyerap air yang kian meluap bersama hanyutan sampah-sampah yang berserabut tak terkendali. Ia menghela napas, udara panas meniup jubah dan permukaan tubuhnya yang rimbun oleh daun, rumput, dan pohon-pohon besar. Mendorong samudra dan laut biru menuju pesisir, mengembalikan para nelayan ke kediamannya. Air gunung memuara ke sepanjang pembuluh nadi di balik kulitnya yang gembur, tetapi entah bagaimana tak sampai pada tanah-tanah retak yang mengering kerontang di ujung kakinya. Ia nyaris menangis. Bukan oleh pedih yang dirasanya, melainkan asap yang tak henti-hentinya membubung di pelupuk mata, ampas api tak beretika yang membakar warna hijau di rambutnya menjadi hitam gersang membotak. Ia terbatuk hebat.

"Hei-hei," sapa makhluk lain yang tiba-tiba bertamu, lalu turut bersemayam di beranda, menghadiahinya teh hijau panas. "Istirahatlah sejenak, kau tampak kelelahan."

Sosok yang disuguhi tersenyum masam. Belum menikmati minuman yang diberi, ia memandang lawan yang kini kawan, menelusuri sudut-sudut matanya yang kecil dan sipit. Ia tak ubahnya dirinya sendiri, hijau dengan corak biru sebagai hamparan laut—meski tak semegah laut miliknya. Seekor lumba-lumba melompat di siku makhluk yang mendeklarasi diri sebagai Jepang. "Kau terlihat sangat baik-baik saja."

Jepang tersenyum dalam. "Tak ada yang tengah baik-baik saja di atas permukaan bumi ini. Hanya saja, masalahku tak serupa denganmu. Masalahku berkecamuk di dalam sini," ungkapnya seraya menunjuk kepala. "Kami sedang berembuk untuk menyelesaikan masalah negara kami. Tetapi, kutengok-tengok, banyak di antara tetanggaku terluka berat. Aku turut berduka atas kebakaran di hutanmu yang tak kunjung sembuh, juga luapan air kali yang ...." Ia mengernyitkan hidung. "Maaf, kotor dan bau. Kudengar, bencana itu adalah banjir terparah sejauh dua puluh empat tahun ke belakang."

Sang Primadona Gagah mengangguk. Kulit sawo matang di ujung bibirnya bekerut. "Juga kekeringan di dada dan sela-sela jemari kakiku." Suara batuk khas Melayu terdengar dari dalam rumah. "Ah, bahkan Malaysia mulai terpapar asap dari rambutku."

Jepang mengangguk-angguk. "Siapa pembuat onar di kepalamu itu, Indonesia?"

"Setan," paparnya ketus. "Para manusia yang setan."

Tiba-tiba jerit ribuan Koala dan tanah-tanah yang bergetar terdengar dari seberang. Ratusan ekor kangguru terpecah belah, melompat-lompat merana. Anak-anak mereka terpisah, menggelinding, tertimbun batang panas, saling merengkuh bersama keluarga koala yang perlahan-lahan terlalap api. Para ibu Kangguru melolong memanggil pertolongan, meminta ampun atas api yang melalap tak henti-henti. Burung-burung melayang tinggi, terbang menangis meninggalkan kawan-kawan mereka yang tak mampu menyelamatkan diri, memancing manusia-manusia yang masih tersisa nurani di hati mereka 'tuk selamatkan hutan Australia. Koloni wombat bergelung di bawah tanah, menahan panas membara.

Indonesia dan Jepang berdiri, mencari-cari dari mana pekik menyuara. Bahkan, Malaysia kini ikut melongok dari balik pintu.

Lalu datang sesosok ramping dengan bara melalap kakinya yang kini berlari terseret. Ia dipapah oleh dua raga lain yang Indonesia kenal dengan Papua Nugini dan Selandia Baru. Sosok di tengah itu menjerit, menangis, memohon pertolongan. Indonesia dan Jepang segera berlari menghampiri, merengkuh tangan-tangannya yang kini penuh laskar berseragam kuning, para pemadam kebakaran. Australia terluka hebat.

"Ambil air!" titah Indonesia pada sesosok anak kecil di dekat Malaysia berdiri. Timor Leste si pemberani segera masuk ke dalam rumah dan mengambil berember-ember air bersama Filipina, Thailand, dan Brunei Darussalam.

Kepada BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang