Di Hadapan Pohon yang Mati

4.6K 793 145
                                    

Arka kembali bersila di hadapan sebatang pohon bercabang tanpa ranting dan dedaunan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arka kembali bersila di hadapan sebatang pohon bercabang tanpa ranting dan dedaunan. Barangkali cuma dia di antara yang subur. Barangkali cuma dia di antara yang lebat. Barangkali cuma dia di antara pepohonan yang masih diberi napas. Mati; gundul dan tak berdaun. Siapa? Pohon yang mati.

Menatap dalam terka pemuda yang tak rela pohon di hadapannya kandas, Arka serupa orang bertapa. Ia termangu meratapi ketandusan tunggal. Dialasi rumput hijau, dikawal segerombol batang lain yang besar dan segar, Arka lantas bertanya-tanya, mengapa hanya pohon itu yang berdiri di atas kesendiriannya?

Angin berembus ramah menyapa bentang taman kecil di depan gedung tempat Arka menimba ilmu. Langit siang senantiasa berbahagia, berbagi senyumannya dengan matahari bersemangat membakar kulit Arka. Tak ada satu manusia pun meratap bersama pemuda itu. Gemerisik daun berbisik nakal, rumput-rumput bergurau menggelitik, aroma tanah menguap bersama udara, cacing-cacing tanah saling menggeliut hangat bersama sanak keluarganya, teriakan orang-orang bersuka cita tampak menggema dari kejauhan. Hari ini sempurna, pikir Arka. Namun, ia masih pula bertanya: mengapa dia yang di hadapanku ini masih saja memiliki ruang tersendiri?

Pohon itu seakan memiliki dinding yang membatasi dirinya untuk turut merayakan keceriaan hari ini. Anugerah hari ini. Kesukacitaan hari ini. Pohon itu lebih memilih bergeming dalam duka yang tak dapat Arka pahami. Duka yang menyelimutinya kian dalam hingga seakan-akan tiada secuil pun celah yang memberinya percik keceriaan. Pohon yang mati itu benar-benar terpuruk dalam keberkabungannya yang abadi.

Menepis sekat-sekat yang menggelayut ringan di ambang dunia mereka, Arka mengajak kumbang kecil bicara, "Hamparan ini luas dan gembira, mengapa kau biarkan dia berduka sendirian?"

Kumbang itu menoleh, tampak wajahnya memberengut tersinggung. "Bukan aku, tetapi manusia," ujarnya sarat sindiran, lalu ia terbang dan hilang ditelan terik.

Mata Arka masih terpaku pada titik hilang si kumbang. Selembar daun kering jatuh pukul dua siang, kedua matanya teralih, dan terpaku pada daun di atas tanah itu.

"Manusia?" tanya Arka entah pada siapa.

Seolah mendengar tanyanya, angin yang semula ramah, mendadak berembus rusuh penuh gemuruh. Helai-helai rambut Arka melayang tak karuan, tak ingin diam di akarnya. Lalu kerotak mengilukan bersuara dari tanah. Arka tertoleh. Ia kira gempa melanda.

Ia lupa menutup mulutnya kala terkesiap tanpa suara. Matanya setengah membelalak, sementara jantungnya berpacu lebih cepat dari kereta. Arka melihat pohon yang mati itu tengah bergerak, akar-akarnya memutuskan diri dari dalam tanah, seakan-akan tengah berusaha berdiri, meloloskan diri dari jeratan bumi.

Bukan hanya itu, langit di atasnya pun bergerak secepat cahaya. Melesat terus ke arah yang berlawanan dari rotasi bumi, Arka melihat orang-orang di sekelilingnya ikut bergerak seperti menuruti waktu yang tengah bergerak ke masa lampau. Seakan waktu bergerak mundur.

Waktu bergerak mundur ...?

Arka melihat ke arah jarum arlojinya. Kepalanya pening seketika. Ketiga jarum bergerak ke arah kiri dengan kecepatan kacau. Arka melirik kembali pohon yang mati. Pohon itu terus mematahkan tiap-tiap ranting dan kayu-kayu lapuk pada tubuhnya untuk melepaskan diri dari tanah. Gerakannya yang cenderung lamban begitu kontras dengan sekelilingnya yang melesat bahkan lebih cepat dari lebatan setan. Bayangan orang-orang di sekeliling Arka kabur, entah apa yang sekarang tengah terjadi, Arka takut. Ia sebut nama Tuhan ribuan kali dalam dadanya, sepenuh hati.

Kepada BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang