Pergunjingan Monyet, Anjing, dan Babi

1.9K 356 52
                                    

Mentari terbangun di pelupuk timur, sinarnya membias ke sela-sela daun pohon jati yang digelayuti. Seekor monyet menggelantung sedih, memandang ke arah mentari terbit. Ia mengayun berputar dengan tangan-tangannya yang kuat dan panjang, hingga pada akhirnya terhenti dan persis duduk di salah satu ranting terkokoh.

Kemarin sore, ia telah mendengar berita yang tak mengenakkan telinga. Monyet itu menghela napas, lalu mengupil. Ia menggaruk puncak kepalanya, lantas menemukan sebiji kutu, lalu ia makan. Monyet jantan yang masih teramat muda itu enggan menghampiri mata air mana pun akibat berita buruk yang ia dengar, padahal kerongkongannya mengering sebab menahan haus nyaris enam jam lamanya. Ia tak mau bertemu air yang memantulkan citra.

Pagi itu Monyet berteriak-teriak berisik dari atas pohon jati yang tinggi. Bukan untuk memanggil siapa-siapa, ia suka saja buat kebisingan dengan suaranya yang memekakkan. Sering ia beradu suara dengan kakak-kakaknya sampai mengganggu sepasang burung kolibri yang lekas terbang sambil merutuki bulan madu mereka yang terusik para monyet. Monyet dan bangsanya adalah makhluk jenaka yang gemar menyengir dan menggaruk-garuk. Tetapi pada hari pengelanaan ini, ia bersedih.

Lalu ia berteriak lagi.

Sampai segaung suara menyambutnya. Ia pikir, ayam ketawa-lah yang menyambutnya dengan cepat itu. Tetapi, tidak. Lolongan Anjing Hutan membuatnya menoleh dari atas. Pagi juga anjing itu terjaga.

"Jangan ganggu aku!" teriak Si Monyet.

"Turun!" pekik Anjing Hutan.

Monyet itu menggeleng dan menunjukkan kedua bola pantatnya seraya bergoyang-goyang, lalu menjulurkan lidah mengejek.

"Hei, itu gayaku! Dasar monyet!"

Dasar monyet! Lolongan anjing itu menggema dalam kepalanya. Lalu Monyet menangis seketika. Bukan oleh sebab ejekannya, karena ia memanglah seekor monyet, tetapi oleh berita buruk yang ia dengar tempo hari.

Anjing Hutan menelengkan kepalanya heran. Sudah berisik, cengeng pula, ujarnya dalam hati. Tetapi, melihat makhluk pelawak itu bersedih, ia pun tak tega. Maka, penuh upaya, Anjing itu kembali menggonggong, menyuruh Monyet untuk turun dan bermain dengannya di pagi hari yang hangat.

Pada akhirnya, Monyet terbujuk dan menuruni pohon. Wajah jeleknya masih cemberut. "Hei, Anjing. Apakah aku ini buruk rupa sekali?" tanyanya.

"Kau memang jelek. Lalu, kenapa?"

Monyet menangis semakin jadi.

Anjing Hutan memutar bola matanya. "Tak semua binatang tercipta indah seperti angsa dan merak, tetapi belum tentu yang indah itu cerdas seperti lumba-lumba, atau lucu seperti kelinci, atau lincah dan gesit sepertimu dan lalat, atau kuat seperti badak dan kuda, atau bahkan punya jiwa penguasa seperti beruang dan hiu. Lagipula, kau dan sebangsamu memang suka sekali saling mengejek, bukan? Mengapa kali ini jadi masalah?" Lidah Anjing Hutan menjulur, mengeluarkan suara hah-hah-hah.

"Jika sesama familiku, aku memang terbiasa. Tetapi ... kemarin sore, kala aku berjalan-jalan ke sepanjang Hutan Kalimantan, kudengar berita tak mengenakkan dari para pekemah."

Anjing itu mengubah posisinya dan duduk berhadapan dengan si Monyet, mulai penasaran pada berita buruk yang sampai membuat seekor monyet menangis. Tetapi, belum juga Monyet mulai berkisah, suara gaduh semak-semak yang saling beradu, bergesek, berayun kasar kesana-kemari membuat kedua kepala makhluk itu melongok ke arah suara berasal. Lalu nguik keras mengejutkan mereka, meski tak sampai membuat dua hewan itu berpindah tempat.

"Dimana? Kemana?! Apakah sudah tidak ada?—Nguik!" Babi Hitam berbulu itu sembunyi di balik tubuh monyet yang sama sekali jauh dari ukuran tubuhnya. Tinggi monyet yang tengah duduk itu hanya mampu menutupi setengah hidung Babi Hitam. "Aman?" tanyanya lagi.

Kepada BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang