BAB 1

139K 5.7K 322
                                    

"Nikah karena cinta nggak lebih baik dari nikah karena dijodohkan."

***

"Nggak seharusnya kamu tuh ngomong kayak kemarin ke Bara, Ya. Nggak baik dan nggak sopan." Mama mulai membuka rantang yang dibawanya. Nggak tahu isinya apa. Aku cuma duduk di sofa ruang tengah sambil menekan-nekan tombol remot untuk mencari saluran yang cocok, sedangkan Mama sibuk dengan bawaannya di dapur.

Mataku melirik Mama yang sekarang lagi nyusun rantang makanan di meja makan. Dan beliau kembali berkata, "Bisa kali, Ya, sebentar aja kamu nggak keras kepala kayak kemarin. Kasih Bara waktu buat ngejelasinnya semua maksud dan tujuan dia ngajak kamu nikah. Mana Bara juga datangnya udah rapi. Pakai kemeja batik, celana bahan, sepatu pentofel. Masa kamu nggak menghargainya sama sekali sih, Ya?"

Aku kembali sibuk mencari saluran tv yang layak di tonton. Sampai Mama terdengar membanting pelan rantangnya membuatku menoleh dan melihat Mama sudah memelototiku.

"Kamu dengar nggak sih, Ya? Malah sibuk cari tontonan. Mama tuh lagi ngobrol sama kamu, bukan arwah kamu." Mama mengacak pinggang. Aku masih diam sambil menatap ke beliau. "Mama sama Papa mengenalkan kamu ke Bara karena kami tahu yang terbaik buat kamu, Raya Prayagung."

Menghela napas panjang, aku pun beranjak bangkit. Menghampiri Mama dan langsung menarik kursi, lalu mendaratkan bokongku di sana. Aroma dari masakan yang Mama bawa menusuk hidungku. Kebetulan sekali, aku belum makan. Aku melihat ada ayam serundeng, sambal terasi, pete goreng, dan tumis kangkung yang menggugah selera.

"Makan dulu, Ma. Nanti ngomelnya, aku lapar." Aku mencomot ayam serundeng, tapi Mama langsung menepis tanganku. "Mama! Aku kan lapar."

"Pakai sendok, Raya! Kamu ini kebiasan main comot aja. Tangan kamu kan kotor."

Aku mendengus pelan, bangkit dari duduk dan berjalan menuju wastafel yang letaknya ada di dapur. Mencuci tangan selama beberapa detik kemudian balik lagi ke meja makan.

"Pakai sabun, Raya."

Terpaksa, aku balik lagi ke wastafel dan mencuci kembali tanganku menggunakan sabun, sesekali berdecak pelan karena Mama nggak tahu kalau aku sudah sangat lapar. Bisa mati nih, bila nggak segera diisi. Memangnya Mama mau kehilangan anak paling cantik yang kecantikannya sebelas duabelas sama Maudy Ayunda? Pasti nggak mau, kan? Kecuali kalau anaknya durhaka. Tapi, kan, aku nggak durhaka.

Mama sudah duduk di depan, beliau mulai menuangkan nasi ke piring, kemudian memberikannya padaku. Aku pun mengulas senyum kecil dan berkata, "Makasih Mama Cantik."

Mama cuma bergumam pelan. Menatapku yang sibuk mengambil lauk pauk dan nggak ikutan makan siang. "Nggak makan, Ma?" tanyaku.

Mama menggeleng. "Nggak. Sebelum ke sini, Mama udah makan di kantor Papa," jawab Mama. "Papamu itu ya... paling nggak bisa kalau makan kantor sendiri. Mesti aja Mama temenin. Macam anak TK aja."

Aku tertawa pelan mendengarnya. Papa memang manja banget ke Mama. Sampai rela menjemput Mama di rumah ketika jam makan siang tiba hanya untuk memintanya menemani makan siang. Karena kebiasaannya itu, Mama sengaja buat nggak makan siang di rumah.

Ngomong-ngomong aku, Mama, dan Papa memang nggak serumah. Papa dan Mama memilih pindah ketika Papa mendapatkan rumah baru di bilangan Lengkong dari perusahaan tempatnya bekerja. Sedangkan rumah dahulu yang ada di daerah Gatot Subroto, ditempati olehku seorang diri. Awalnya aku enggan, tapi Mama maksa. Katanya aku sudah harus belajar mandiri.

"Bara baik lho, Ya." Mama masih belum menyerah. "Dia juga pintar, sholeh, idaman suami dunia akhirat. Udah giu, Bara juga kan dokter. Pokoknya definisi suami yang sempurna di mata Mama. Nggak kayak mantanmu itu, Ya, yang rambutnya panjang macam kuntilanak."

My Hottest Duda [Hottest Series#1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang