4

22 2 1
                                    

Sebentar lagi meeting dengan client terakhir akan dimulai, kurapikan lagi beberapa map warna biru di meja tamu. Sebelumnya aku tidak pernah merasakan kalau dua minggu akan berlalu secepat ini. Ada perasaan lega  karena tugasku akan segera selesai. Namun aku masih memikirkan satu hal yang sejak tadi malam berputar tanpa henti dikepala ku.

Liburan yang dijanjikan pak Arez malam itu.

Biar aku jelaskan, di malam ketiga sejak menginap disini aku mulai merasa tidak nyaman. Sehari dua hari aku mencoba untuk adaptasi dengan lingkungan di Ambon. Mulai dari menu makanan, adanya babi hutan yang sesekali kudengar mengonggong atau apalah istilahnya. Yang jelas itu sukses membuat ku parno habis-habisan, karena yang berputar dipikiran ku adalah jelmaan seekor babi siluman seperti pada sinetron yang sering diputar di televisi sewaktu aku masih kecil.

Alhasil aku tidak akan keluar dari kamar setelah pukul tujuh, kecuali ada pak Arez bersama ku.

Lalu sialnya, dimalam ke empat aku tidak sengaja melihat penampakan seekor babi hutan saat aku nekat turun untuk membeli sesuatu. Aku yakin ada lebih dari empat ekor babi hutan berkeliaran disekitar penginapan, meskipun babi-babi itu tidak akan bisa masuk karena sebenarnya disini juga sudah ada pagar pembatas.

Dan babi-babi itu sukses membuat penyakit parno ku kambuh. Sampai aku melewatkan makan malam yang pak Arez bilang spesial karena bertepatan dengan bulan purnama. Tapi yang kulakukan malam itu hanya duduk ditepi ranjang yang menghadap langsung ke pantai.

Waktu menunjukkan pukul delapan lebih tiga puluh menit. Aku tidak mungkin bisa tidur kalau perutku tidak terisi apapun selain kue sagu tadi siang.

Mamak aku pengen pulang.

"Setakut itu sama babi hutan?" tiba-tiba suara yang sekarang mulai kuhafal menggema di ambang pintu kamar dengan sebuah nampan ditangannya.  

"Saya nggak mempersilahkan bapak masuk, kenapa masuk?"

"Karena kamu nggak dengar, mungkin karena efek lapar jadi pendengaran mu berkurang."

Hatiku gemuruh karena amarah yang ingin meletus, bisa-bisanya dia masuk tanpa meminta ijinku dulu. Pak Arez kemudian menarik kursi putih di dekat jendela lalu menempatkannya tepat didepan ku. Menghalangi ku untuk melihat silatan warna putih dari air laut yang tertimpa cahaya bulan.

"Sekarang makan, kita selesaikan pekerjaan ini sesegera mungkin, jadi jangan sampai sakit."

Aku masih bergeming.

"Kamu nggak bisa kerja dengan perut kosong."

"Sekarang waktunya tidur, jadi lebih baik bapak keluar dari kamar saya."

"Saya nggak akan keluar sebelum kamu makan. Lagi pula kamu juga nggak mungkin bisa tidur dengan perut kosong."

ANJIM! Tau dari mana pak Arez kalau aku nggak bisa tidur dengan perut kosong.

"Saya janji, kalau kita selesai lebih awal dari waktu yang dijadwalkan, kamu bisa pulang lebih cepat."

Sorry ya bapak Arez Pradana, sayangnya saya nggak tertarik dengan tawaran bapak.

"Atau kalau kamu pengen liburan juga bisa."

"Asal nggak ada babi hutan, saya mau."

"Mau apa?" lah kan tadi dia yang nawarin buat liburan, giliran aku jawab iya, malah balik nanya.

"Saya mau makan atau mau apapun terserah saya asal nggak ada babi hutan." hampir saja darahku mendidih kalau pak Arez tidak beranjak dari tempatnya.

"Saya heran ada orang seperti kamu. Mogok makan gara-gara babi hutan."

"Bapak nggak tau yang saya rasain."

"Tau persis, sekarang kamu sedang menahan lapar kan? Sejak disini saya lihat porsi makan mu berkurang. Padahal kalau dikantor bisa habis tiga mangkok bakso. Saya nggak mau di cap buruk karena pulang dari sini kamu terlihat kurus."

Di malam itulah aku sadar kalau ternyata pak Arez tergolong kaum adam yang cerewet.

"Gemuk atau kurus nggak ada urusannya sama bapak."

"Jelas ada. Selama disini kamu itu jadi tanggung jawab saya."

"Saya nggak minta bapak buat tanggung jawab." ucap ku seringan kapas. Percaya diri sekali bapak satu ini.

Dari gerak-gerik nya, agaknya pak Arez akan pergi dari kamarku, namun siapa sangka bapak satu ini justru berbaring di ranjang ku. "Saya ngantuk Marissa, jadi jangan mendebat. Cepat makan dan saya akan keluar, kecuali kamu pengen saya disini."

Segera lah aku lahab roti sagu dengan selai coklat itu memenuhi mulut.

Sekarang yang menjadi masalahnya adalah aku tidak berani menagih janji yang ditawarkan pak Arez malam itu. Karena tidak ada kata deal dalam penawaran malam itu.

Rasa hati ingin menagih yang diucapkan nya, tapi rasa gengsi ku menggunung ketika mengingat bagaimana percakapan tak terarah kami malam itu, jadi meskipun berat, sangat amat berat, aku pilih untuk tidak menanyakan hal itu.

"Kamu ngapain Marissa?" tiba-tiba suara itu muncul sukses membuat ku terlonjak dari perang dingin yang terjadi dikepala ku.

"Astagfirullah! Nggak sopan main masuk aja sembarangan!"

"Sudah saya ketuk banyak kali, tapi mungkin pendengaran mu mulai berkurang." kilahnya tidak merasa sungkan sedikit pun.

"Itu artinya bapak nggak boleh masuk. Untung saya udah mandi segala macem. Gimana kalau tiba-tiba bapak masuk terus saya lagi ganti baju?" 

"Jadi kamu mau saya masuk pas kamu ganti baju?" katanya seringan kapas.

"Ini kali kedua bapak masuk tanpa permisi."

"Saya nggak ingat. Tapi saya ingat kalau kamu sudah kecolongan punggung mu?"

Katanya dengan wajah datar sedatar papan tulis.

Aku berusaha mencerna ucapan pak Arez, aku tidak memiliki masalah apapun dengan punggung ku selain rasa nyeri dan itupun hanya aku rasakan saat datang bulan.

Plazzzz!!!!

Darahku langsung ambyar dari sekujur tubuh.

Sekarang aku paham. 

"Saya minta tolong ke bapak, untuk ingatan yang satu itu tolong di delete aja dari memory." pintaku berlutut padanya yang sedang fokus pada map biru ditangan berotot itu.

"Sudah saya delete sejak awal, tapi masih tersimpan di recycle been."

-_-

Someone You LoveWhere stories live. Discover now