Terima kasih kalian yang sudah mengapresiasi tulisan ini. Dari awal nggak nyangka bisa sampai seperti ini karena ekspektasiku cuma sebatas nulis buat aku baca sendiri kalau gabut maupun udah mupeng sama tugas dan sebagainya(nah ini aku di bilang lebay nggak papa kok wkwk)

Sempat maju mundur publish ini cerita tetapi semoga saja lancar ke depannya.

Terima kasih dan maaf dengan note yang penting tidak penting ini. Happy Reading🙂

.....

Nadin Amirah membuka pintu rumah panggung sambil menghirup udara segar dari paru-paru dunia. Pohon-pohon menjulang tinggi di antara belantara hutan yang membuat siapa saja enggan hidup disana, kecuali sudah dari kecil atau kepepet. Hidup di pedalaman dan berada di tapal perbatasan tak membuat Nadin melunturkan niatnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, begitulah tugasnya.

Namun Nadin bersyukur hidup di tanah Borneo ini. Nadin banyak mengambil nilai yang begitu berharga. Tak ada yang ia sesali karena ini langkahnya. Walau dunia mengumpatinya tetapi ia tak peduli.

Nadin melirik jam dinding usang yang di berikan Bu Maria, seorang kepala sekolah  sementara tempatnya mengajar. Awal pertama masuk di daerah ini, Nadin sangat minum pengalaman dan hendak mundur saja, tetapi karena tugasnya, perempuan berusia 22 tahun itu pun memantapkan niatnya. Ia bahkan sudah di sumpah oleh negara dan harus siap di tempatkan di mana saja.

"Ayo Bu Nadin, kita berangkat ke sekolah." Kebetulan Bu Maria keluar dari rumah kayunya yang berada di depan rumah panggung sederhana Nadin yang di bangun atas inisiatif kepala desa secara gotong royong. Sebenarnya Nadin hendak di satukan dengan Bu Maria, tetapi karena suatu hal Nadin akhirnya di buatkan rumah darurat disini.

Perempuan berhijab hitam itu lantas mengangguk dan tersenyum, lantas menutup pintu rumah darurat itu dan berjalan beriringan dengan Bu Maria.

"Semalam tidur nyenyak Bu?" Tanya Bu Maria. Sedangkan Nadin terkekeh pelan, "Sedikit terganggu dengan suara hewan di sini tetapi akhirnya bisa tidur walau sudah sangat larut bu." Memang musim peralihan ini hewan-hewan khas hutan mulai menampakkan eksistensinya, bagi yang sudah terbiasa akan menjadi patokan jika musim kemarau akan tiba tetapi bagi yang belum terbiasa tentu sangat terganggu dan ingin menutup telinga saja rasanya karena mengganggu jam tidur malam.

Lantas kedua perempuan berlatar belakang berbeda itu berjalan menyusuri jalanan yang masih di dominasi oleh batu-batu kecil, tak ada aspal apalagi beton, sungguh ironi di tapal batas negeri ini. Tetapi inilah yang terjadi.

DersikWhere stories live. Discover now