Chapter 1

890 39 50
                                    

Macet, itulah yang selalu terjadi di kota metropolis. Meski dinobatkan sebagai salah satu kota terbersih, terhijau, dan terindah tatanannya di dunia pun masih saja dilingkupi suasana padat yang menyesakkan jalanan. Bahkan di hari minggu ketika orang-orang tengah mengkampanyekan car free day, Surabaya masih saja disesaki oleh kendaraan pribadi.

Celine Sutjipto, yang kini sedang berada dalam taksi online yang ia pesan untuk mengantarkannya ke sebuah hotel untuk menghadiri reuni bersama teman-teman masa SMA-nya pun terjebak kemacetan di jalan protokol, padahal penutupan jalan untuk CFD sudah dibuka sejak sejam yang lalu.

Celine kesal karena sedari tadi harus mendengar bunyi klakson bersahutan dan panasnya sinar matahari yang menembus kaca mobil.

"Kalau kayak gini terus, bisa-bisa Surabaya jadi gelap karena polusi." Celine mendengkus, sembari mengaplikasikan lipstick dengan warna nude pada bibir tipisnya.

Sopir yang berada di sampingnya sedang fokus pada jalanan di depan mata, ia tersenyum mendengar celotehan Celine. "Ya mau gimana lagi, Mbak? Semua orang ndak berhenti konsumtif buat beli kendaraan bermotor."

Semakin kesal dengan fakta yang diungkapkan sang pengemudi, Celine pun menghela napas sembari menutup lipstick dan bedaknya. "Terus-terusan beli mobil, kalo macet nyalahin pemerintah. Kenapa nggak naik kendaraan umum aja, sih? Kalo nggak mau berdesakan di kereta atau bus, 'kan, bisa naik ojol."

Dalam hati si sopir hanya bisa meringis sambil tertawa. Dilihat dari penampilannya, Celine pasti bukanlah orang yang setiap harinya mau menaiki kendaraan umum. Bukan tidak mungkin kalau dia punya kendaraan pribadi lebih dari satu di rumah. Pria berkemeja biru laut itu hanya menggelengkan kepala sambil tetap fokus pada jalanan di depannya, membiarkan sang penumpang menikmati rasa kesal yang ia ciptakan sendiri.

Satu jam berkutat dengan kondisi memprihatinkan di jalanan, Celine pun sampai di sebuah hotel yang menjadi tempat diadakannya pertemuan tahunan bersama teman-temannya. Mendadak, suasana canggung menyergap dirinya. Setelah mengucapkan terima kasih pada sopir taksi online-nya, ia pun turun dan berjalan dengan gugup menuju ballroom utama.

Terlihat beberapa orang yang masih ia ingat betul mereka siapa. Teman satu angkatan yang dulu sering bersamanya di klub jurnalis sekolah. Celine menarik napasnya dalam, kemudian mengembuskannya perlahan, mempersiapkan diri sebaik mungkin agar rasa keterpaksaannya untuk hadir tidak ketara.

"Celine!"

Mendengar namanya dipanggil, Celine menoleh ke belakang, mencari tahu siapa yang masih mengenalinya dengan penampilan yang jauh berbeda setelah empat tahun berturut-turut ia tidak datang ke acara reuni tersebut.

"Ini celine, bener, 'kan?"

Seorang perempuan mendekat sambil menggandeng seorang anak lelaki berusiha sekitar tujuh tahun, bersama lelaki yang setia mengikuti di belakangnya dengan menggendong seorang batita.

"I ... ya?" jawab Celine gugup, mencoba mengingat siapa gerangan familiar yang ia tak ingat namanya.

"Ini aku Dinda. Mosok lali?"

Mata Celine melotot tajam mendengar penuturan temannya, kemudian berhambur memeluk wanita yang mengenalkan dirinya sebagai 'Dinda' tersebut.

"Ya ampun, pangling aku, Din. Bueda, loh, kamu sama pas terakhir kita ketemu."

Dinda tersenyum sembari mengelus pundak Celine. "Iya, makin subur, 'kan, aku? Hahaha."

Mendengar itu, Celine tersenyum. Beruntung ia berpapasan dengan Dinda, ketua kelasnya dahulu.

"Oh, iya, masih ingat Mas Yusuf, suamiku, 'kan? Sama Dika, anak sulungku."

Celine mengangguk, kemudian menyalami suami dan anak kecil yang tadi digandeng oleh Dinda.

Boy, Me Gusta! [Tamat]Where stories live. Discover now