"Toilet."

Apa gue bilang. Si Kafkampret ini bener-bener lucky bastard. Dulu, Nara juga sering bawain gue makanan. Walaupun gue yang paksa dia buat masakin gue. Karena selain menggambar, Nara juga berbakat dalam memasak.

Kalo Kafka, apa dia juga yang minta Nara buat masakin? Atau inisiatif Nara sendiri? Pertanyaan yang gue lontarkan kepada diri sendiri itu sedikit mengusik perasaan gue. Perasaan nggak rela karena merasa ... tersisihkan.

"Ini tolong kasih Kafka, ya." Nara mengeluarkan kotak makan hitam beserta sendoknya dari paper bag.

"Hm," balas gue singkat.

Lalu kemudian Nara kembali mengeluarkan kotak makan yang persis seperti milik Kafka namun kali ini berwarna ungu. "Nih, buat lo."

Alis kanan gue terangkat mendengarnya. "Lah, gue juga dapet, nih?"

Nara berdecak dan memutar kedua bola matanya. "Nggak mau? Ya udah gue kasih yang mau aja."

Sebelum Nara kembali memasukkan kotak makannya, gue menyambar dari tangannya secepat kilat. "Enak aja. Yang bilang nggak mau siapa? Gue 'kan cuma mau memastikan."

"Inget, yang item punya Kafka. Spesial tuh pokoknya. Jangan lo tuker-tuker awas aja!"

Gue mencibir. "Alah paling juga yang punya Kafka lo kasih pelet biar dia makin demen sama lo."

Sebuah tepukan keras mendarat di lengan gue membuat gue mengaduh.  "Sembarangan banget sih lo. Mulutnya dijaga ya jangan kayak nggak pernah dididik."

"Lo pikir mulut gue gawang perlu dijagain? Aneh banget lo."

"Ngomong sana sama sendok. Gue mau balik ke kelas."

Kemudian Nara membalikkan badannya, berjalan menjauh. Saat dia sudah mencapai pintu, gue berseru. "Makasih, Nyet!"

Sepeninggalan Nara, gue langsung membuka kotak makan. Seperti yang dikatakan Nara tadi, dia bawain nasi goreng ayam lengkap dengan selada, tomat, tiga nugget dan sosis sapi yang dipotong berbentuk gurita.

Melihat isi bekal gue yang menggiurkan, gue jadi penasaran punya Kafka. Nara bilang punya dia spesial. Which means lauknya lebih bervariasi dari gue kayaknya sih. Intip dikit nggak apa-apalah.

Ketika membuka tutup kotak makan Kafka, hal pertama yang menyambut gue adalah telur mata sapi yang membuat gue bergidik, lalu sosis ayam yang bentuknya sama kayak sosis sapi milik gue. Kemudian gue melihat udang-udang di nasi goreng Kafka yang membuat gue segera menutup kotak makan dia. Secara keseluruhan, bekal milik Kafka adalah makanan-makanan yang nggak bisa gue makan.

Gue alergi udang. Gue suka semua olahan telur kecuali telur mata sapi dan telur rebus karena rasanya aneh banget. Dan tentang sosis ayam, bukannya gue nggak suka atau alergi. Cuma menurut gue kalo ada sosis sapi, kenapa harus sosis ayam? Intinya gue prefer sosis sapi.

Oke, kayaknya gue paham maksud Nara. Yang buat nasi goreng Kafka spesial itu karena ada telurnya. That's it. Atau sebenernya yang spesial itu nasi goreng gue soalnya Nara menjauhkan gue dari makanan yang gue hindari.

Masa bodoh lah. Yang penting gue dapet makan gratis plus dari Nara. Baru aja gue mau suap makanan ke mulut, salah satu teman sekelas gue manggil dari depan pintu.

"Spaghetti La Haza ada yang nyariin lo nih!"

Kampret banget nih Bunga bangke manggil gue begitu.

"Siapa?" balas gue sambil menutup kotak bekal dan terpaksa beranjak.

Ketika gue sampai di pintu, seorang perempuan yang wajahnya nggak asing berdiri di depan gue. Gue memperhatikan wajahnya lekat mengingat-ingat siapa dia. Nggak sampai sepuluh detik, ingatan gue terlempar pada kemarin sore ketika gue meminjamkan payung kepada seseorang. Dan perempuan ini orangnya.

Namanya siapa, ya? Gue nggak nanya, sih, kemarin. Gue lirik sekilas name tag-nya.

Khintami R. Lazuardi.

"Oh, elo. Pasti mau balikin payung, ya?" tembak gue langsung sambil memikirkan kira-kira siapa nama tengahnya.

Well, I think her name is kinda cute and unique tho.

——

Sometimes moms and dads
are fall out of love

Sometimes two homes
are better than one

Some things you can't tell you sister
cause she's still too young

You'll understand
when you love someone

——

Unrequited Feelings | ✓Where stories live. Discover now