Chen mendekati Zea, merogoh saku kemeja dan menyerahkan selembar kartu nama pada perempuan itu.

"Ini kartu namaku. Kamu bisa menghubungi kapan saja. Sebagai informasi, aku dan Kaisar pernah beberapa kali bertemu."

Chen menggerak-gerakkan kartu namanya karena Zea tidak juga mengambil. Tetapi perempuan itu memang tidak berminat dengan kartu nama. Yang ada di benaknya saat ini adalah, mengganti Chen dengan psikolog kriminal yang lain.

Kesal, Chen membuka jari yang menjepit kartu nama, membiarkan kartu itu lepas dan jatuh tepat di ujung kaki Zea.

"Sampai bertemu lagi, Detektif. Aku rasa kasus ini bakal menarik." Chen berjalan ke arah pintu, tapi lagi langkahnya terhenti ketika tangan sudah mencapai kenop. "Omong-omong, aku juga membuka praktek umum. Kalau kamu mau berkonsultasi tentang kesehatan jiwamu, feel free."

Otomatis tangan Zea terkepal demi mendengar ucapan Chen. Sumpah serapah sudah ada di ujung lidah. Namun, ketika dia berbalik untuk memuntahkan makian, pintu sudah tertutup berdebum. Psikolog menyebalkan itu, sudah lenyap di balik pintu. Sehingga yang bisa dilakukan si detektif hanya berteriak-teriak kesal, dengan kaki mengentak-entak.

💕💕💕

Baru saja Zea selesai menarik resleting celana jeans-nya, ketika ponsel yang terserak di ranjang berdering. Dia merangkak di ranjang, menyingkirkan beberapa pakaian yang menyulitkannya mengambil ponsel.

Setelah ponsel berhasil diraih, senyumnya melebar. Itu Anita. Si ahli forensik itu pasti bermaksud memberi tahunya mengenai sidik jari di pakaian dalam merah menyala.

"Ya, Anita?" Dia menyahut ponsel, mencoba berdiri dari ranjang dengan susah payah. Pakaian-pakaian ini terlalu berantakan. Dalam hati, dia berjanji akan membereskan semuanya begitu kasus ini selesai.

"Berita buruk."

Kening Zea mengernyit seketika. Langkahnya berhenti di ujung ranjang. Diletakkannya bokong pada pinggiran kasur, mencoba menelaah arti berita buruk yang didengarnya barusan.

"Tidak ada sidik jari pada pakaian dalam. Seperti tidak berpemilik. Tidak ada sidik jari juga pada tubuh Kaisar. Bersih. Aku rasa, kasus ini akan lebih menyulitkan dari yang pernah kamu bayangkan."

"Kamu bercanda, Anita." Zea berkata dengan menyelipkan tawa kesal di ujung ucapan. Pasalnya, bagaimana mungkin tidak ada petunjuk sedikit pun? "Memangnya pelakunya hantu? Sebersih itu tanpa meninggalkan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk?"

"Aku harus bilang apa, Ze? Ukuran pakaian dalamnya adalah size 40. Aku sudah mengecek profil Puri Shalitta karena kamu mencurigai perempuan itu. Masalahnya, tinggi badannya yang cuma 167 dengan berat badan 52, terlalu kecil untuk mengenakan size 40. Tidak ada kemungkinan kalau pakaian dalam itu adalah miliknya."

Tanpa sadar Zea mengacak rambutnya sendiri yang masih basah selepas mandi tadi. Hari masih pagi, tapi semua kejadian sejak subuh membuat suasana hatinya sudah berantakan.

"Kamu yakin?" Zea masih butuh diyakinkan. Di seberang sana terdengar Anita mendesah, membuat harapan leyap. "Apa menurutmu dia bunuh diri?"

"Aku memang tidak melihat adanya perlawanan. Bibir dan ujung-ujung kukunya membiru secara alami aibat tidak adanya asupan oksigen. Ada sedikit memar di tumit memang, aku tidak bisa memastikan apakah itu karena dia mencoba menendang-nendang sehingga tumitnya terbentur, atau memang terbentur sebelumnya." Anita terdengar menghela napas di ujung sana sebelum melanjutkan ucapan, "Aku beri tahu, ketika seseorang tenggelam, kesempatan bernapas hanya sekitar 60 detik, sebelum akhirnya kamu bernapas dalam air dan membuat katup-katup oksigen tertutup. Dan hanya butuh waktu sekitar 7 menit untuk kamu bisa mati."

KEEP SILENT (Completed) - TerbitWhere stories live. Discover now