17. Bintang Aquarius

Mulai dari awal
                                    

Oh, jangan lupakan bibirnya yang berwarna merah muda dan sangat kecil itu. Dia benar-benar terlihat seperti bocah laki-laki daripada seumuran lelaki dewasa atau remaja sepertiku.

"Berkediplah!"

Sial!

Aku ketahuan. Hei, aku bukannya ingin modus atau bagaimana, tapi ini pertama kalinya bagiku melihat wajah seperti ini. Jadi wajar, dong kalau aku memperhatikannya terus. Manusia mana yang iris matanya berwarna emas, heh?

Kalau diperhatikan lagi, pupilnya juga bukan berwarna hitam. Tetapi abu-abu. Kan aneh dilihatnya. Manusia langka yang memiliki mata seperti itu. Atau ... dia bukan manusia?

"Aku tau aku tampan. Tapi jangan menyiksa matamu untuk tak berkedip seperti itu."

Apa?

Dia kege'eran sekali. Dia pikir aku tertarik padanya, eh? Mustahil sekali.

"Ck! Ge'er!" decakku kesal.

"Apa? E'er? Apa itu E'er?"

Ya, kuakui dia memang GANTENG. GANgguan TEliNGa. Aku bilang ge'er malah jadinya e'er. Kan nggak nyambung.

"Apa nggak bisa lo bawa makhluk ini pergi, huh?" tanyaku pada sosok di sebelahnya yang kelihatan jauh lebih normal dan dewasa.

"Siapa yang kau sebut makhluk, hah?! Aku memiliki nama!" kesal lelaki itu, "namaku Torty," lanjutnya.

"Iya aku tau. Tori dalam bahasa Korea kan artinya batu. Berarti lo itu batu. Dapet kutukan dari siapa lo jadi batu?"

"Ck! Kamu budeg  atau bagaimana, sih?"

Lah? Bukannya seharusnya yang berkata begitu itu aku? Kenapa jadi sebaliknya?

"Namaku itu Torty! Te-o-er-te-ye! Dibaca Torty! Bukan Tori! Apa aku harus mengajarimu cara mengeja huruf dengan benar, heh?"

Aku memalingkan wajahku tak peduli. Siapa suruh namanya aneh-aneh begitu? Tanggung sekali tinggal dipanggil Tori aja sekalian. Atau batu juga nggak apa-apa. Biar ketauan kalau dia anak durhaka.

"Torty, sudahlah. Dia, kan dari bumi, wajar tidak tahu namamu. Tidak perlu diperpanjang seperti ini."

Ha?

"Tapi dia membuatku kesal, Senior! Kalau berada di bumi, aku pasti sudah melaporkannya ke hukum dan membiarkannya disandra di sana selamanya. Bahkan kalau sampai dihukum mati juga tidak apa-apa. Justru aku bahagia."

Eh?

"Dan sayangnya ini bukan di bumi, Torty!"

He?

"Ck!" Aku berdecak kesal.

"Hm?"

"Ha?"

Mereka berdua kompak menoleh padaku dan menatapku dengan penuh tanda tanya. Ya, kecuali yang bernama Torty itu. Dia hanya menatapku sekilas, lalu memalingkan wajahnya lagi. Cih! Sok jual mahal sekali dia.

"Aku di mana?" tanyaku.

Karena keasyikan bertengkar dengan Torty, aku sampai lupa menanyakan keberadaanku. Kuakui ini sepertinya bukan bumi. Aku sudah melihatnya dari dekorasi kamar ini.

Kamar ini memiliki dekorasi seperti berada di tengah hujan. Plafonnya yang bergambar seperti awan yang sedang mendung, dindingnya yang bergambar seperti rintikan hujan yang lebar di tengah kota. Rasanya itu seperti benar-benar berada di tengah kota yang sedang hujan.

Kuakui manusia memang bisa saja membuat hal seperti ini pada kamarnya. Tapi yang menjadi lebih istimewa pada ruangan ini adalah aroma hujan yang seperti hujan sungguhan.

New World [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang