Radith terus tertawa mengerikan, dia membenturkan kepalanya ke tembok dengan kencang.

Bugh...

Bugh...

Bugh...

Terdengar jelas, berdentum.

Beberapa cowok berusaha menahan dia, namun tak ada yang mampu menahannya, sekalipun 9 cowok.

Walaupun melindungi kepalanya dari tembok baik dengan tas ataupun benda lainnya, ia akan tetap berusaha untuk menghancurkan kepalanya itu di sisi lain tembok.

Beberapa cewek di kelasku menutup matanya ketakutan.

"Kepalanya berdarah! Ibuk akan cari bantuan," Bu Nofi sangat cemas.

Darah segar Radith meleleh di tembok kemudian menyebar di sekitar mejanya.

"Gimana nih? Kita gak bisa nahan dia!" ujar Adhian.

"Kepalanya bisa pecah!" sahut Devan.

"Kita gak bisa mendekati dia," sela Alex.

Radith tersungkur di atas lantai, kepalanya begitu berantakan.

Adhian dan Devan mengecek nafasnya.

"Hah! Radith udah mati! " ujar Adhian terkejut setengah mati.

Seisi kelas heboh, terlebih para cewek, teriak-teriak histeris.

Buk Nofi datang bersama Bu Lia, kepala sekolah. Melihat jasad Radith yang tergeletak itu, Bu Lia langsung menelpon rumah sakit untuk menjemput Radith dengan ambulan.

"Dia sudah gak bernafas lagi buk," ujar Devan terbata-bata.

"Pokoknya bawa dia ke rumah sakit dulu," balas Bu Lia gemetar.

Tak lama kemudian, Radith di bawa ke ambulance. Seisi sekolah melihat jasadnya yang malang dengan gemetar.

Adhian berdiri gemetar, menatap darah yang berserakan nanar, nafasnya tak beraturan. Baju dan tangannya di lumuri darah Radith disaat menahan tubuhnya.

"Aku lemah," ujarnya pelan merasa bersalah karena tak bisa melindungi temannya itu.

"Tidak, hantu yang merasukinya sangat kuat, semua cowok sudah menahannya bukan? Tapi tetap gagal, hantu apa itu?" sahut Alex.

"Ren, kamu bersihin darahnya gih, aku takut," ujar Valentina.

"Kenapa aku?" tanyaku.

"Kamu paling berani," sahut Verisa.

Aku bangkit dari kursi, berjalan pelan menuju pel yang tergeletak di sudut kiri belakang kelas.

"Ambilkan aku air," ujarku pada Adhian yang masih gemetar.

Adhian berlari menuju toilet. Tak lama kemudian dia kembali dengan dua buah ember hitam.

Aku mengepel darah kental itu, berserakan dimana-mana. Aku lepas sepatu ku lalu mulai mengepel dengan sedikit ketakutan.

Rivania tampak jijik saat melihatku membersihkan darahnya.

Aku tak menyangka hal ini akan terjadi, ada apa sebenarnya dengan kelas ini.

"Tadi, banyak yang mengira kalau aku yang membunuhnya karena aku berlumuran darah," ucap Adhian sambil melihat ke pakaiannya yang berlumur darah Radith.

"Astaga! Kenapa aku menyuruh mu tadi, nanti biarkan aku jelaskan pada mereka, maaf ya," sontak aku menjawabnya begitu.

"Gak apa-apa kok, tadi udah aku jelaskan satu persatu, mereka percaya kok," balas Adhian.

Begitulah kalau udah tergila-gila banget, apapun katanya, pasti di percaya. Walaupun benar, tapi jelas kalau mereka langsung percaya sama dia karena naksir abis.

"Selesai!" ujarku sambil memeras pel ke dalam ember. Air jernih seketika berubah memerah, mengeluarkan bau yang menyengat.

"Trettttt..." Kursi Radith bergerak.

Semua cewek berlarian keluar, sambil berteriak-teriak "Hantu!! Hantu!!!".

Aku dan Adhian tertawa geli.

"Perasaan tadi cuma kesenggol tongkat pel-ku saat memerasnya," ujarku.

"Pintar banget ya nakut-nakutin orang," balas Adhian.

Dengan jahilnya, aku berteriak menakut-nakuti cewek-cewek diluar.

"Akkkhh!!! Tolong!!! Tolong!!!" sorakku jahil.

Terdengar semua cewek di luar berteriak lalu mengintip di jendela. Setelah tahu, mereka kembali ke dalam kelas.

"Maaf, kursinya bergerak karena kesenggol tongkat pel," ujarku.

"Ishh, nakut-nakutin aja," ujar Dina.

"Lucu banget lihat kalian teriak-teriak sambil lari keluar," ujar Adhian.

"Sudah, berhenti bercanda, teman kita baru saja meninggal di hadapan kita,"

Semuanya terdiam.

Aku menyeka keringat di dahiku lalu kembali duduk.

"Tolong, buang air dan cuci pelnya," perintah ku pada Adhian sambil menunjuk-nunjuknya.

"Haha, oklah," balas Adhian.

"Masa iya dia mau di suruh-suruh gitu," aku mendengar bisikan, seperti suara Dini, kembarannya Dina.

"Palingan Adhian suka sama dia, gak mau kalah juga nih," balas Dina.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan mereka.

Tak lama kemudian hawa dingin menyeruak dari belakang. Tak ada jendela di belakang, hanya tembok. Tapi kenapa bisa ada hawa dingin seperti angin?

Aku menghiraukan hawa itu, kemudian memain-mainkan kaki ku di bawah meja.

Tiba-tiba kaki ku berhenti, sesuatu yang dingin menahan kaki ku yang kugoyang-goyangkan tadi. Cengkramannya cukup kuat sehingga kakiku tak bisa bergerak sedikitpun.

Sontak aku gemetar dan menggigit bibir bawahku karena ketakutan. Aku sangat cemas.

Aku beranikan melihat kebawah, ternyata tak ada apa-apa.

Serius, aku merasakan sesuatu menggenggam kaki kiriku tadi. Dingin.

Mungkin halusinasi karena mengurus darah Radith tadi. Malah halu kayak di film horor.

"Kok tegang gitu?" tanya Rivania.

"Eh? Masa iya sih?" ujarku.

"Cemas kenapa?"

"Aku gak cemas kok."

"Tuh, gigit bibir bawah, di ilmu psikologi, kamu lagi cemas atau takut."

"Eh nggak kok, bibirku kering tadi."

"Oklah."

Pintarnya kelewatan banget, jadi iri deh.

Rivania kembali ke kursinya, merapikan rambut pendeknya lalu mengambil novel di dalam laci meja.

"Novel apa tuh?" tanyaku.

"Kepo," balas Rivania.

"Ih, padahal aku cuma nanya aja."

"Emang judulnya kepo."

"Eh? Bilang dong."

"Hihi."

Wajahku memerah, malu sekali.

Hari ini begitu mengejutkan, aku benar-benar tak menyangka semua ini terjadi di awal ku menduduki bangku kelas 9 SMP.

Ada apa ini?



Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon