"Tuk... Tuk... Tuk..." Terdengar seperti langkah kaki guru yang khas dengan sepatu hak hitamnya.

"Selamat pagi," ujar beliau.

"Selamat pagi buk!" balas kami serentak.

Ternyata wali kelas kami Bu Indah, guru Matematika favoritku.

"Ok silahkan berdo'a dalam hati sesuai kepercayaan masing-masing," ujar Bu Indah.

Setelah berdo'a, Bu Indah menulis sesuatu di papan tulis.

"Baiklah, siapa yang ingin menawarkan diri sebagai ketua kelas?" tawar Bu Indah.

Devan, Radith, Rivania, dan Alex mengajukan diri.

"Baiklah, pemilihan dalam bentuk voting," jelas Bu Indah.

Setelah voting, akhirnya Devan lah yang menjadi ketua kelas, sedangkan Rivania wakil ketua kelas.

Kemudian di lanjutkan dengan perangkat kelas lainnya. Siapa yang sangka, banyak yang memilih ku sebagai bendahara. Ah sialan, mereka memandangku sebagai cewek yang seperti apa sih, sampai-sampai semuanya memilihku sebagai bendahara.

"Baiklah, selanjutnya susunan duduk," ujar Bu Indah.

Bu Indah mengatur kami satu per satu. Semua siswa mendapatkan kursinya, 25 kursi.

"Yaah, si Radith yang dapat kursi pojok kanan belakang," keluh Devan.

Radith tersenyum menyebalkan ke arah Devan, lalu Devan membalasnya dengan mengacungkan jari tengahnya.

Bu Indah mencatatkan jadwal pelajaran. Tak banyak yang mencatat, hanya 3-4 orangan, selebihnya berharap dikirimkan fotonya di grup WhatsApp kelas yang akan di buat nanti.

"Nanti kirimin ya jadwalnya di WhatsApp," pintaku pada Verisa.

"Oke," sahut Verisa.

Setelah semua urusan selesai, Bu Indah membebaskan kami dari pembelajaran. Lagipula gak mungkin juga langsung belajar di awal semester.

"Bye Bu Indah, muahh," ujar Valentina sangat centil sambil memberikan Bu Indah kiss bye.

Bu Indah hanya tersenyum melihat kecentilan Valentina.

Tak hanya bucin, Valentina juga sosok orang paling centil yang pernah ku jumpai. Orangnya pecicilan dan tukang gosip.

"Jajan yuk," ajak Valentina.

"Yuk," balasku dan Verisa.

Kami berjalan menuju keluar gerbang, melihat macam-macam pedagang.

"Eh, ada tukang kritik," ujarku.

"Keripik!" sahut Valentina nge-gas.

"Nyindir aku tuh," sela Verisa.

Aku hanya tertawa geli melihat bibir tipisnya cemberut dengan pipinya yang mengembung besar.

Aku dan Verisa membeli keripik rasa balado, sedangkan Valentina membeli rasa jagung.

"Aku gak suka yang pedas-pedas," ujar Valentina.

"Lemah, aku aja makan nasi pakai cabai terus," ujar Verisa.

"Pantes mulutnya pedas juga, hihi," ejekku.

"Sindir terus!" Verisa cemberut lagi.

Tak lama kemudian Adhian datang.

"Gak ngajak-ngajak nih," ujarnya.

"Siapa juga yang sudi," balasku ketus.

Valentina dan Verisa hanya terdiam, pipinya merah. Aku tahu dia ganteng, wajahnya di lukis Tuhan begitu sempurnanya. Mata coklat, kulit putih, hidung tajam dan bibir tipis merah merona, tapi aku gak suka cowok tukang sindir.

"Traktir dong Bang Adhian," segerombolan siswi kelas 8 mendatangi Adhian.

"Idih alay, modus banget, bilang aja mau goda dia," bisikku ketus.

"Yaudah, ke kelas yuk," ajak Verisa.

"Yuk," balas Valentina.

"Woy! Malah ngelamun," sorak Verisa.

"Ih ganggu aja," ujarku.

"Hayoo, lagi liatin si Adhian ya? Aku jadi cemburu, hihi," sahut Verisa.

"Siapa juga yang liatin dia," balasku.

Kami kembali ke kelas, makan keripik sambil berghibah (Jangan di tiru! Hanya dilakukan oleh professional!). Verisa sedikit kepedasan karena kebanyakan memberi bumbu baladonya.

"Kayak energi ya, semakin pedas makanannya, semakin pedas mulut nya, hihi," sindirku lagi.

Verisa tidak memperdulikan ucapanku, dia hanya mengibas-ngibas wajahnya yang berkeringat.

"Makanya jangan sombong," ujar Valentina.

"Nih minum," Valentina menyuguhkan botol minumnya pada Verisa.

Aku telah menyindir Verisa abis-abisan. Padahal aku tukang sindir, tapi aku membenci Adhian yang suka nyindir aku. Egois, tapi tetap saja, aku ga suka cowo bersikap seperti itu, gak ada kerennya sama sekali.

"Huh, lega," Verisa menghabiskan setengah minuman Valentina.

"Terima kasih," ucap Verisa.

Lama waktu berjalan, akhirnya jam pulang tiba. Semua siswa berlarian pulang.

"Ingat, dikirim jadwalnya," ujarku.

Verisa mengacungkan jempol dan mendatangi ayahnya yang sudah menjemputnya dengan mobilnya.

Rumahku tak jauh dari sekolah, jadi berangkat dan pulang sekolah cukup dengan jalan kaki.

Cuacanya panas sekali, kulit aku bisa gosong nih.

"Hei!!" sorak seseorang dari belakangku.

Oh, tukang sindir.

"Mau pulang bareng?" tawar Adhian.

"Gak, aku mau sendirian," balasku.

"Tuh... Tuh..." Adhian memanyunkan mulutnya ke arah sekelompok preman muda tukang ganggu.

"Hadeh, temani aku hanya untuk lewati mereka ya," ujarku geram.

Kami berjalan berdua. Sekelompok preman muda itu hanya melirik kami. Akhirnya kami telah menjauh dari kelompok itu.

"Dah, duluan sono," usirku.

"Serius nih?" ujar Adhian.

"Memangnya aku perlu ditemani apa."

"Yaudah, bye."

"Idih."

Adhian berlari di sepanjang trotoar sambil melihatku. Tak lama kemudian dia tersandung besi penutup gorong-gorong.

Adhian tersungkur, aku hanya tertawa geli sambil menutup mulutku. Karena ada rasa iba aku menolongnya.

"Eh, pipi kiri mu tergores tuh," ujarku.

"Gak apa-apa, kan gak hilang gantengnya kan?" balas Adhian.

"Idih, ke-pd-an," sahutku.

Jangan lupa di vote dan komentar. Kan author dah hibur kalian gratis. Hehe...

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang