1

46 7 7
                                    

"Kamu ini laporan berdasarkan apa, coba kamu buat rincian darimana kamu bisa dapet 75% padahal target mu saja hanya sampai 45%"

Kalau iman kalian kuat, percayalah kalian bisa melihat asap mengepul dari kepala ku. Dasar memang, aku paham betul kalau kerjaan ku jauh dari ekspetasi. Gimana enggak jauh dari ekspetasi kalau sebelumnya aku bekerja di bagian administrasi di jungkir balikkan di bagian pemasaran. Ini tuh kayak jetlag beneran.

Apalah dayaku selain diam dan menunduk penuh hikmah. Menunggu intruksi selanjutnya dari pria yang mungkin usia nya lebih tua dari papa. Aku menghitung sampai sepuluh untuk menunggu pak Bagus bilang 'harap semua kepala divisi kembali mengecek ulang apakah bawahan anda paham mengenai targed'.

Dan ya,, dia memborbardir grup kantor dengan wanti-wanti yang sudah kuduga. Bukan aku saja, bahkan semua orang di ruangan ini langsung saling tatap. Tidak ada suara yang keluar. Pemandangan yang terlihat hanya mulut para kacung kampret menganga.

Mau bagaimana lagi. Memang pak Bagas sangat disiplin dan perhitungan.

Aku pikir kerja di bagian pemasaran itu mudah. Tinggal promosi, lalu tawar-menawar. Selanjutnya yang kupikir dulu hanya dua kemungkinan. Deal or no Deal.

Belakangan ini jadwal ku kacau balau. Berangkat petang pulang petang. Weekend yang hanya lewat sebagai wacana dan tak satupun terlaksana. Jangankan weekend, libur hari minggu saja aku sudah sangat bersyukur. Bahkan aku juga akan bersyukur kalau aku pulang dan matahari masih benderang.

Siapa peduli masalah jam pulang kerja kantor. Kantor hanya ingin yang terbaik untuk bisa mewujudkan visi dan misi. Lalu ku pikir lagi, bagaimana bisa tercapai kalau karyawan seperti aku hanya mempermasalahkan kuantiti jam kerja daripada kualitas kinerja.

Kubaca lagi sebuah tulisan yang tertulis rapi si secarik kertas berlaminating berwarna kuning terang.

Kudengar suara roda kursi mendekat.

"Tadi di ceramahi apa aja mbak?" tanya Ali junior ku dengan sifat keponya yang tingginya melebihi monas.

Aku menghela nafas. "Gue lupa saking panjangnya. Sumpah lo harus denger sendiri ceramah dari pak Bagas." ucapku.

Ali menyibak rambut gondrong nya, "Mbak, gue serius. Bisa mati gue kalau pak Bagus udah tanya masalah targed."

Kini aku menatap penuh laki-laki yang dua tahun lebih muda dariku. "Ali Mustofa, denger ya. Di meja lo ada kertas dengan bingkai warna kuning terang kan?"

Ali menggangguk.

"Lo lulusan S1 dan sudah pasti lo nggak gitu goblok karena lo berhasil kerja di kantor ini."

"Terus ada hubungannya gitu mbak sama targed?" tanya Ali cengo.

"Ya lo hafalin lah point apa aja yang bisa lo kejar biar targed lo nyampe, lo punya pondasi kalau sewaktu-waktu pak Bagas tanya. Kecuali kalau lo pengen kena semprot kayak gue barusan!"

Rasa heranku bertambah. Kenapa manusia seperti Alien ini bisa di terima di sini. Aku akui otaknya lumayan encer seperti pup dedek bayi yang baru lahir. Eeww.

Masalahnya saking encer nya otak yang dimiki Alien satu ini, justru membuat orang lain jengkel karena si Alien tidak bisa mencerna kalimat yang orang lain ucapkan dengan baik. Dan bukankah nilai yang baik di dapat karena otak yang cerdas dan kapasitas otak yang mudah untuk memahami penjelasan orang lain. Disinilah permasalahannya. Jadi tidak keliru kalau aku lebih senang memanggilnya Alien.

"Asal mbak tau ya, padahal tiap pagi sudah gue hafalin dan dengan sangat yakin gue bakal bisa jawab kalo aja sewaktu-waktu pak Bagas itu tanya ke gue."

Someone You LoveWhere stories live. Discover now