1. Mentari hadir

64 26 9
                                    

Aku sangat bersemangat untuk memulai tahun pertamaku menjadi murid SMP. Bayang-bayang akan teman-teman yang seru dan tentu saja lebih dewasa menghantuiku sejak tadi malam dan membuatku tidak bisa tidur. Alhasil, aku terlambat bangun dan buru-buru berangkat ke sekolah baruku.

Dengan baju putih-biru yang masih tercium bau barunya, aku bergegas menggoes sepedaku secepat yang aku bisa agar tiba di sekolah tepat waktu. Meskipun buru-buru, tidak ada alasan bagiku untuk tidak menikmati suasana pagi hari kota Yogya yang selalu berhasil mengobati kegaduhan hatiku.

Dengan napas yang terengah-engah, aku memarkirkan sepedaku di samping sebuah motor ninja berwarna merah dan tentu saja keren. Otakku terus terbayang-bayang akan siapa gerangan yang membawa ini? Di Yogya, jarang ada murid yang membawa motor sebagus ini ke sekolah. Biasanya, mereka akan berjalan kaki, naik becak, atau bahkan membawa sepeda sepertiku.

Karena bel sekolah sudah berbunyi, aku terpaksa menghentikan khayalanku dan segera menuju kelas.

"Hai, kamu anak baru ya?" sapa seorang perempuan dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai dengan ramah. Perempuan itu sangat cantik, dengan kulit putih bersih, bulu mata yang lentik, serta tubuh ideal yang tinggi. Bukan hanya itu, ia terlihat sangat ramah. Aku yang perempuan saja bisa langsung jatuh cinta saat melihatnya pertama kali, apalagi laki-laki.

"Eh, iya. kamu juga?" jawabku gugup dan juga minder karena penampilanku yang beda jauh darinya. Aku sama sekali tidak cantik. Kulitku sawo matang, khas orang Yogya, bulu mataku tidak lentik, dan aku pendek. Jauh dari kata sempurna.

"Wah, kalau gitu jalan bareng ke kelas yuk!" ajaknya. Tanpa menunggu jawabanku, ia langsung menarik tanganku dan melangkah dengan penuh senangat.

"Loh, kelas kamu di sini juga?" tanyanya dengan mata yang terbelalak tapi menunjukkan binar bahagia saat aku berhenti di sebuah kelas bertuliskan VII.3.

"Iya, kamu juga? Kalau gitu, duduk bareng yuk!" aku mengajaknya dan dijawab dengan anggukan setuju.

Sayangnya, kali ini semesta tidak sejalan dengan keinginan kami berdua. Tidak ada sepasang meja yang tersedia untukku dan teman perempuanku yang masih belum kuketahui namanya. Yang tersisa hanyalah satu meja meja di barisan paling depan di samping perempuan berkaca mata yang sedang membaca buku, dan yang satu lagi tepat di meja paling belakang di samping seorang laki-laki yang sedang tertidur.

"Yah, gak ada tempat lagi." Sesal teman perempuanku.

Aku tersenyum dan menggeleng ikhlas, meskipun aku juga sedih. "Tidak apa-apa, kamu mau duduk di mana?" tanyaku ramah.

"Aku di depan aja deh, soalnya mata aku minus, Ibu belum sempat beliin kaca mata. Gak apa-apa kan?" tanyanya padaku dengan wajah memelas yang membuatnya terlihat sangat imut.

Aku mengangguk. Meskipun setengah hatiku masih tidak mau duduk di meja paling belakang di samping seorang laki-laki yang sepertinya berandalan itu. Lihat saja dia, masih pagi seperti ini malah tidur. Belum lagi bajunya kusutnya yang tidak dimasukkan ke dalam. Dengan malas, aku melangkah dan duduk di samping laki-laki itu.

Tidak lama setelahnya, seorang guru datang dan membuat laki-laki yang duduk di sampingku terpaksa bangun dari tidur lelapnya. Ia terlihat sedikit bingung kenapa aku bisa duduk di sampingnya. Meskipun gugup, aku membalas tatapannya dengan sinis.

Laki-laki itu menyenggol lenganku dan membuat titik fokusku terbelah. "Kamu teman sebangku aku ya?" tanyanya dengan berbisik di telingaku.

"Hmmm." Aku menjawab tanpa menoleh seidikitpun kepada laki-laki menyebalkan itu.

HilangWhere stories live. Discover now