Can't say 'No'

4.4K 122 0
                                    

Sejak kedatangan Julian, sikap Smantha mulai berubah. Dan itu membuatku benar-benar merasa bersalah padanya. Jujur, aku tidak bisa melihat dia marah padaku karena aku menyayanginya. Aku akui, Julian memang menarik perhatianku, tapi bukan berarti aku menginginkannya dalam hidupku.

Aku meminta Julian pulang terlebih dahulu setelah aku menyadari perubahan sikap Smantha. Untungnya, dia mengiyakan meski aku melihat kekecewaan dalam raut wajahnya. Aku tidak peduli. Karena bagiku Smantha adalah prioritasku.

Aku melihat Smantha duduk di sampingku menyetir mobil. Dia menopang kepalanya dengan tangan yang disanggahkan di pintu mobil. Selama 3 jam-an perjalanan, dia sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Aku beranikan diri meraih tangannya. "Smantha......"

Dia menarik tangannya.

"Babe.." Ku serongkan dudukku untuk menghadapnya.

"Smantha... Hey.... Why?"

Smantha melirikku tajam. Entah apa maksud tatapan tanpa kata itu.

Aku menghela nafas panjang. Bingung harus melakukan apa. Sangat lucu jika selama perjalanan kita harus diam-diaman begini.

"Smantha.. tell me why....."

"Pilih!" Celetuknya yang membuat aku terdiam seketika.

"What do you mean?"

Smantha masih belum menolehku. Dia mengehela nafas berat menanggapi reaksi ku sambil menyibakkan rambutnya.

Dia menolehku. "Aku atau Julian?!"

Aku mengernyitkan dahi. "Maksudmu? Jelas aku memilihmu. Julian? Aku bahkan baru bertemu dia. "

Smantha tersnyum miring mendengar kalimat terkahir yang ku ucapkan. Apa maksudnya?

Dia masih belum menjelaskan.

"Samantha..."

Dia menolehku kesal. "Apa kau ada keinginan mengenal dia lebih jauh?"

"Why not?"

Smantha kembali tersenyum miring.

Oh My God! My girl, what does it mean?!

"Smanth............"

"Seberapa besar inginmu untuk menjalin asmara dengan pria?"

Aku berpikir sejenak. "Asmara?"

"Asmara atau apapun itu."

"Aku belum terfikir untuk menjalin asmara dengan pria......."

"Oh, jadi ada kemungkinan kau akan begitu? Iya?!"

Smantha bernada tinggi? Why?

Aku mengehela nafas berat. "Katakan dengan jelas. Aku tidak memahami inti pembicaraan mu."

Shit!!

Smantha mengerem mobil mendadak.

"Julian. Apa kau menyukai dia?"

Pertanyaan yang membuatku menoleh seketika.

"Kenapa kau bertanya tentang itu? Kau tau aku baru bertemu dia."

Smantha menyibakkan rambutnya lagi dengan  sedikit kasar lalu keluar dari mobil.

"Hey! Babe!" Aku mengikutinya keluar lalu berdiri di belakangnya.

"Why?"

Smantha menolehku. "Kau masih belum paham?!" Matanya sedikit berkaca-kaca.

Oh My God!

Aku mendekati nya dan meraih kedua lengannya. Tapi dia menangkis tanganku.

"Aku tahu kau mungkin masih menyukai pria. Aku akan berusaha mengerti itu. Tapi apakah kau akan tega menyakitiku?" Air matanya menetes.

Seketika aku menarik pinggangnya dan mendekatkan tubuhnya padaku. Dia hanya pasrah.

Aku menghapus air matanya dengan lembut dan menatapnya teduh.

"Apa yang kau takuti, hm?"

Smantha menunduk. "Aku mencintaimu. Jujur aku takut Julian akan mengambilmu dariku. Karena aku tahu kau hanya bisex, bukan lesbian."

Aku mengusap rambutnya. "Kenapa Julian? Julian tidak mungkin mengambilku. Aku akan bilang padanya."

"Sudah. Aku sudah mengatakan padanya tentang kita. Tapi dia tidak menyerah begitu saja." Isaknya.

Aku bisa merasakan dadaku yang basah karena tetesan air mata Smantha. Aku benar-benar bisa merasakan ketulusannya.

"Ceritakan apa saja yang kau bicarakan dengan Julian saat aku tidak ada."

Smantha memberi jarak antara tubuh kami. Dia menatapku sambil menghapus air mata cepat-cepat.

"Julian menyukaimu. Dan dia akan berusaha menarik mu dariku. Terlebih saat dia tahu kau bukanlah lesbian, melainkan bisex." Jelasnya hingga air matanya mengalir lagi.

Aku menghela nafas berat. Bingung harus bagaimana. Jujur aku sesak melihat Smantha begini. Tapi tidak bisa dipungkiri, aku merasa puas mengetahui bahwa Julian menyukaiku. Meski aku tidak berniat menjalin hubungan serius dengannya, aku cukup tergoda dengan dirinya.

Lalu aku harus apa?? Bagaimana aku harus bersikap???

"Come here, babe!" Aku menarik tangannya lembut dan mengajaknya duduk di atas tangki mobil.

Dia menurut.  Ku sandarkan kepalanya di bahuku hingga aku bisa mengusap kepalanya lembut.

Langit sore ini seolah mendukung suasana hatiku dan Smantha. Sunset di ujung timur menjadi saksi ketulusan Smantha kepadaku.

Aku mengecupi kepalanya berkali-kali. Aku ingin membuatnya lebih tenang dengan sikapku karena aku tidak bisa menjanjikan apa-apa dengan kata-kata. Sungguh, aku tidak bisa menyangkal bahwa aku memang serakah.

Setelah beberapa saat, Smantha menolehku. "Ve..."

"Hm..?"

"Maafkan aku. Aku akan coba untuk lebih mengerti."

Aku tersenyum. "Aku yang minta maaf. Ini salahku."

Dia menggelengkan kepala cepat. "Bukan! Jangan salahkan dirimu. Tak seharusnya aku memaksa mu."

Aku harus bersikap bagaimana?? Siapa yang salah?? Tidak ada. Aku juga tidak mengerti kenapa orientasi seksual ku begini? Dan parahnya, kenapa aku tidak bisa memilih??

"Bolehkah aku meminta satu permintaan?"

Aku tersenyum. "Sampaikan."

Smantha menatapku intens. "Tolong, sebisa mungkin, jangan membuatku cemburu. Kau tau maksudku kan?"

Ku lihat matanya yang berkaca-kaca lagi. Menyesakkan. Aku pun akhirnya mengangguk mengiyakan. Entah, apakah aku bisa?

"Thanks, Ve." Smantha memelukku erat.

Aku mengusap punggungnya dan tersenyum. Entah apa makna senyuman ku, aku sendiri tidak tahu.

Setelah beberapa saat kami terjebak dalam suasana mellow, aku sadar bahwa langit mulai gelap. Aku melirik arloji di pergelangan Smantha.

"Sayang, ayo kita pulang. Biarkan aku yang menyetir."

Smantha menegakkan tubuhnya. "Tidak. Aku saja. Gantian. Kau boleh tidur."

Aku tersenyum lebar. "Baiklah. Ayo! Akan ku temani kau berbincang-bincang. Karen kau tahu? Menyetir sendiri itu membosankan."

Smantha terkekeh malu. Mungkin dia menyadari sindiran halus yang ku lontarkan.

"Ya sudah, ayo!" Dia turun dari tangki mobil lalu mengulurkan tangan padaku.

I'LL TOUCH HER, BUT I NEED HIS TOUCH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang