Ujian

89 6 0
                                    

Tak terasa enam bulan sudah aku lalui hidupku di PP Nurul Islam. Aku benar-benar bersyukur karena aku diberi kemampuan oleh Allah untuk bisa melalui masa-masa yang bagiku menyiksa itu. Aku juga bersyukur karena aktifitasku di kampus juga dilancarkan. Dan aku sudah menempuh tahap akhir dari semester ganjilku. Aku akan mengikuti UAS pekan depan. Dan kedekatanku dengan ukhtiy Nabila pun semakin erat. Aku sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri. Dia pun begitu. Kasih sayangnya itu yang membuatku kuat menghadapi ujian demi ujian yang ku alami disini. Thank you ukhtiy Nabila. Semoga Allah membalas setiap kebaikan-kebaikanmu.

Rangkaian kehidupan di dunia ini bagai putaran roda yang takkan selamanya tetap. Ada saatnya yang berada dibawah berpindah ke atas begitu pun sebaliknya. Jalan kehidupan pun begitu. Tak selamanya jalan yang kita tempuh akan lurus terus. Akan tetapi ada saatnya kita lurus, ada saatnya berbelok ke kanan, ke kiri dan seterusnya. Setiap ciptaan tuhan pasti mempunyai kesalahan, tak akan mungkin mereka selalu benar. Dan itu adalah hukum yang mesti terjadi.

Seperti halnya diriku, saat ini aku sedang diberikan ujian oleh Allah. Hampir semua santri yang satu blok denganku membenciku. Mereka bilang kalau aku sudah mencoreng nama baik mereka di depan para santri-santri yang lain. Untuk pertama kalinya aku shock, karena sebelumnya aku tak pernah merasa melakukan apapun yang ada sangkut pautnya dengan mereka. Aku berusaha rilex, ya walaupun hatiku tak pernah berhenti untuk selalu memikirkan hal itu. Dan masalah itu terus berlanjut sampai satu minggu.

Waktu itu aku bagaikan hidup di neraka, sebatang kara. Tak ada yang tahu dengan penderitaanku.

Allah... apa yang harus ku lakukan? Rasanya tidak mungkin jika aku melibatkan ukhtiy Nabila dalam masalah ini.

Aku tidak ingin masalahnya nanti akan semakin ribet karena aku yakin jika aku berurusan dengan ukhtiy Nabila, ukhtiy Nazilah pun tidak akan tinggal diam.

Arrggggh.... bagaimana ini?

Kepalaku terasa ingin pecah. Air mataku rasanya tak ingin berhenti mengaliri dua mataku. Wajahku sudah sangat sembab. Aku menenggelamkan wajahku pada lututku. Aku bingung harus berbuat apa.

Tiba-tiba ukhtiy Nabila menghampiriku. Bukan main kagetnya. Aku segera menghapus air mataku dan menyembunyikan kesedihanku darinya. Tapi ukhtiy Nabila jauh lebih mengerti dengan gerak-gerik sesorang. Dia mampu membaca pikiranku yang memang dalam keadaan kalut. Dan aku pun tak menyerah untuk tetap menyembunyikan masalahku darinya, dan ukhtiy Nabila pantang menyerah untuk tetap membujukku agar cerita tentang apa yang sedang aku alami. Dengan berat hati aku pun menceritakan masalahku kepada ukhtiy Nabila karena aku juga ingin masalah ini segera selesai.

“Ukhtiy Nabila, saya mohon jangan bawa masalah ini ke ukhtiy Nazilah. Saya takut. Saya takut karena saya tidak mempunyai bukti yang kuat tentang masalah ini.
“Kamu jangan takut Naila, Allah pasti akan selalu menolong hambanya yang bertaqwa. Jika kamu yakin kamu tidak bersalah kamu harus berani meski tak punya bukti. Kamu tenang saja saya akan mengiringi kamu dari belakang.”
“Tapi saya takut ukhtiy Nabila.”
“Dengarkan aku baik-baik Naila! Jika hanya aku yang mengurus masalah kamu, lalu apa kata ukhtiy Nazilah, secara beliau ketua pengurus di pesantren ini. Dan juga kamu mesti pikirkan teman-teman kamu, mereka pasti akan negatif thinking jika tahu aku yang mengurusnya seorang diri.”

Ukhtiy Nabila berkata dengan sangat bijaksana. Tapi pikiranku masih saja kalut. Aku benar-benar merasa tersiksa dengan adanya musibah ini. Ukhtiy Nabila lalu merangkul tubuhku dan berusaha mengalirkan energi kekuatan padaku. Dia tidak ingin melihatku bersedih dan berlarut-larut dalam masalah. Aku bersyukur karena dalam kondisi ini Allah mengirim ukhtiy Nabila untuk menjadi pengobat hatiku yang terluka.

Jodoh istikharah (Tamat)Where stories live. Discover now