Return

167 16 1
                                    

Satu bulan telah berlalu. Itu bukanlah waktu yang sebentar untukku, apalagi dengan berbagai macam persoalan yang muncul setiap harinya. Bersyukur. Itulah yang semestinya aku lakukan, mengingat betapa hancurnya hidupku waktu itu, tapi dengan kekuatan yang Allah kirimkan lewat orang-orang terdekatku, aku mampu melewati waktu yang terasa lama itu.

Pagi ini aku berencana untuk pergi ke toko buku untuk membeli buku-buku yang aku butuhkan untuk melanjutkan studyku ke perguruan tinggi. Aku sudah ditemani adikku Fitri. Kebetulan dia sedang libur sekolah hari ini. Tapi belum berangkat saja dia keburu ditelfon temannya untuk belajar kelompok, dan mau tidak mau aku harus berangkat seorang diri ke toko buku.

Di satu sisi aku bersyukur kepada sang Khaaliq, karena dengan adanya masalah itu, aku bisa melanjutkan kembali belajarku. Dulu ketika aku lulus SMA aku memang sudah mantap untuk melanjutkan studyku ke perguruan tinggi, tapi aku harus bisa menerima keputusan ayahku, dan waktu itu aku tidak boleh melanjutkan studyku karena aku akan dinikahkan dengan anak sahabatnya yang sudah dua tahun bertunangan denganku. Tapi yang namanya Takdir, jika dia berkata tidak untuk suatu kejadian, maka itu tidak akan terjadi, dan buktinya diluar dugaanku beserta dua keluarga besar yang sedang berbahagia karena akan menjadi satu itu, tiba-tiba sang putra sulungnya yang bernama Nizam mengumumkan bahwa pernikahan antara dia dan diriku tak akan pernah terjadi. Dan hari itu pula dia memutuskan tali silaturrahmi antara keluargaku dan keluarganya. Aku terkulai lemas melihat kejadian memalukan itu. Aku benar-benar shock.

Aku pun berangkat menuju toko buku terdekat dari rumahku menaiki angkutan umum. Sejurus kemudian aku pun tiba. Setelah membayar ongkos aku turun dan perlahan memasuki toko buku yang ternyata sedang ramai-ramainya pelanggan. Disaat aku sedang sibuk-sibuknya mencari buku, tanpa ku sengaja aku menjatuhkan buku di rak paling atas dan buku itu menimpa kaki seorang lelaki. Dengan segera aku meraih buku itu dan meminta maaf padanya.

“Maaf, maaf mas... saya nggak sengaja, rak bukunya ketinggian.”

Aku tercekat diam melihat wajahnya. Luka itu kembali membuatku dadaku sakit. Maaf, aku belum bisa melupakannya. Aku membisu, ternyata orang yang tak sengaja ku temui adalah Nizam. Ya, Nizam, mantan tunanganku. Dia kembali, setelah beberapa waktu lost contact dengan keluargaku. Aku bingung harus berbuat apa. Antara menyapanya atau tidak? Aku mengambil napas berat dan menghembuskannya perlahan. Aku berusaha menguasai diriku dan berusaha menyapanya meski terasa berat sekali.
“Naila... ngapain disini?” Nizam menyapaku duluan.

Tapi, dia kembali dengan Nizam yang baru. Dia bukan lagi Nizam yang ku kenal semasa kita masih bertunangan. Sikapnya telah berubah. Dari caranya menyapaku berbeda. Dia terlihat begitu sopan dan lembut.

“Ya Allah... Nizam, jika kamu memang gak mau hidup bareng aku, kenapa harus pake cara itu sih, kenapa harus mempermalukan keluargaku?” batinku.
“Naila... kamu dengar kan aku bicara apa?”

Nizam melambaikan tangannya di depan wajahku. Ya ampun... ternyata aku melamun sejak tadi.

“Iya aku dengar kok, maaf tadi keinget sama pesan ibu.”
Aku menyeringai pelan.
“Naila... aku minta maaf ya... soal kejadian kemarin, pasti kamu malu banget kan sama tetangga-tetangga kamu?”
“Sudahlah Nizam, jangan ungkit-ungkit masalah itu lagi. Lagian aku udah lupa kok sama masalah itu. Mungkin kita memang nggak jodoh kali.” Ucapku dengan senyum yang terukir di bibirku.
“Sayang... ya ampun, kamu dicari-cari ternyata ada disini.”

Seorang gadis seusiaku menghampiri kami. Dia lalu meraih lengan kanan Nizam dan menariknya.

“Sayang, sayang jangan ditarik gitu dong!”

Gadis itu melepas tangan Nizam dan menatapku tajam. Aku mendesah panjang, berharap dia tidak salah paham dengan apa yang ku lakukan tadi dengan Nizam.

“Kenalkan dia Naila tetanggaku.”

Dia masih enggan untuk mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku. Dan dengan penuh kerendahan hatiku, aku mengulurkan tanganku lebih dulu.

“Ini Faira tunanganku Naila.”

Aku tetap berusaha kuat dihadapan mereka. Walau aku tak tahu apa yang sedang aku rasakan. Mungkin aku cemburu karena jujur aku masih menyayanginya, atau bagaimana aku tak mengerti. Ku sunggingkan seutas senyum di wajahku. Selepas itu aku pamit meninggalkan mereka dan pergi ke kantin yang berada tak jauh dari toko untuk mengisi perutku yang sudah keroncongan sejak tadi.

“Mbak Naila...”

Aku dikejutkan suara adik sepupuku Aditya. Hampir saja aku kehilangan napas karena tersedak saat kaget tadi. Hehe. Wajahnya yang putih itu mulai tampak dewasa. Dia sudah menginjak kelas dua belas MA.

“Mbak Naila makin cantik saja deh dilihat-lihat. Kalau kata Adit kak Nizam itu rugi gak jadi nikah sama mbak. Kok sendirian bak?”
“Aditya... udah tahu ngegombalin cewek nih...”

Aku membalas candaannya demi memalingkan rasa kalut dihatiku.

“Oh iya mbak, tadi aku ketemu sama kak Nizam dan kayaknya dia bareng cewek.”
“Iya, mbak ketemu juga. Dia bareng tunangannya.”
“Mbak yang sabar ya...”
“Maksudnya?”
“Adit tahu sebenarnya mbak itu kecewa kan, dulu mbak dipaksa untuk sayang sama kak Nizam dan setelah mbak benar-benar sayang sama kak Nizam, dia malah putusin mbak. Adit tahu mbak masih sayang kan sama kak Nizam?”
“Sayang sih iya Dit. Tapi kalau sudah gak jodoh mau apa lagi?”
“Tapi jujur Adit salut sama mbak, mbak tegar banget.”
“Doakan mbak Dit biar selalu sabar.”

Hidangan yang telah dipesan Aditya pun datang. Dengan segera mungkin dia menyantap makanan itu, berusaha mengejarku yang sudah menghabiskan lebih dari separuh makananku.

***
Diantara readers semua, ada nggak yang punya mantan tunangan? Kalau ada, bagi ceritanya dong. Gimana rasanya ketemu mantan lagi? Soalnya Author sendiri belum pernah ngalamin...hehe. Tapi, jangan doain biar ngalamin ya.

Jangan lupa sentuh bintangnya, kasihan biar gak nangis.
Komentarnya juga.

Jodoh istikharah (Tamat)Место, где живут истории. Откройте их для себя