Anak rantau

130 15 1
                                    

Hari ini adalah hari pertamaku menyandang gelar anak rantau, atau lebih bagusnya santri. Aku sudah berada di tempatku mencari ilmu dan bermukim di salah satu pondok pesantren ternama di daerah Jember, PP NURUL ISLAM.

Dan yang pasti dirasakan setiap santri baru adalah “TIDAK BETAH”--bahkan ada yang bilang, bukan hanya santri baru, yang tidak betah, santri yang mondoknya sudah bertahun-tahun, juga merasakan hal yang sama. Siapa sih yang betah di pondok? Gak ada kan? Cuma kadang malu sama usia. Udah tua masih saja kayak anak kecil. Haha--Merasa asing dengan keadaan yang dialaminya. Beginikah nasib anak rantau? Pertanyaan itu muncul dalam otakku, setelah menjalani hidupku beberapa waktu disini. Jauh dari orang tua dan sanak famili. Tidak ada satu pun orang yang mengenalku, terlebih, aku harus bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku itu. Rasa tidak betah dan tidak nyaman dengan keadaan itu pasti ada. Bahkan menurutku melebihi rasa itu.

Terkadang ketika aku tak sengaja teringat pada ayah, ibu dan kedua adikku, air mataku jatuh tanpa aku minta, bahkan dia semakin menjadi-jadi saat aku kembali teringat kenangan-kenangan yang telah aku lalui bersama mereka. Tapi saat aku teringat peristiwa menyakitkan yang diciptakan oleh mantan tunanganku itu, aku mampu menghapus air mataku dan memintanya untuk tidak jatuh. Tekadku sudah bulat. Aku harus bersungguh-sungguh dalam belajar, karena kesempatan ini merupakan kesempatan emas yang telah Allah anugerahkan untukku.

“Assalamualaikum...”

Terdengar suara seorang perempuan menyapaku. Aku menjawab salamnya dan menoleh melihat siapa yang memanggil salam. Ternyata sudah ada seorang gadis berkerudung hijau tersenyum padaku. Sejuk. Itu yang aku rasakan saat pertama melihatnya. Wajah sumringahnya benar-benar membuat sejuk mataku. Tak ingin sedetikpun mataku lepas darinya.

“Santri baru?”
“Iya mbak.” Aku menjawab singkat.
“Siapa namanya?”
“Intan Naila Safitri, tapi biasa dipanggil Naila.”
“Oh. Kenalkan saya Nabila, saya dari Madura tepatnya Bangkalan.”
“O... saya Sumenep mbak.”
“Maaf sebelumnya, disini untuk memanggil salah satu anggota pengurus itu harus dengan sebutan ukhtiy, maaf ya... bukan niat saya sombong sama kamu, tapi saya takut kamu kena denda. Disini kalau ada yang tidak memanggil salah satu pengurus dengan sebutan ukhtiy bisa kena sanksi. Dan saya termasuk anggota pengurus PP Nurul Islam ini.”
“Oh... iya maaf ukhtiy... terima kasih sudah memberi tahu.”
Suasana menjadi hening sejenak. Aku dan ukhtiy Nabila sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa waktu kemudian adzan dzuhur berkumandang. Ukhtiy Nabila mengajakku ke kamar mandi untuk mengambil wudlu’ dan mengikuti sholat dzuhur berjamaah. 

Dua puluh lima menit berlalu. Alhamdulillah aku sudah selesai melaksanakan shalat dzuhur berjamaah. Dan sekarang aku sudah berada di kamarku blok Nurul Ain. Untuk saat ini memang tak ada kegiatan. Saat ini adalah waktu yang biasanya digunakan para santri untuk merehat pikirannya sejenak dan mempersiapkan mental untuk pengajian sehabis asharnya. Dan sebagai seorang mahasiswa aku tak punya kegiatan yang begitu padat layaknya santri-santri yang lain. Aku tak begitu banyak terikat dengan urusan-urusan di pondok, jangankan untuk mengikuti pengajian kitab, untuk shalat berjamaah pun aku sudah jarang sekali. Aku mulai disibukkan dengan urusan-urusan di kampusku. Dan dari pihak pondok pun juga tidak begitu memperberat beban para mahasiswa untuk bisa mengikuti kegiatan pondok secara full. Mereka memberi keringanan pada para mahasiswa tapi dengan satu syarat mereka harus mematuhi kode-kode etik yang telah ditentukan oleh pondok dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun.

Ada yang pernah mondok nggak, diantara para pembaca semua? Gimana sih rasanya mondok menurut kalian?

Jangan lupa sentuh bintangnya dan tinggalkan pendapat kalian mengenai part ini, di kolom komentar!🙏🙏🙏

Jodoh istikharah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang