Sedari tadi lelaki itu hanya diam mendengarkan omongan mereka sembari sesekali mendongak untuk sekedar memberi senyum pada El.

"Gue?" Vano menaikkan sebelah alisnya, "Gue ngga peduli sih sebenernya. Asal kalian ngga ngusik, gue fine-fine aja."

Desahan pelan keluar dari bibir Chikal. Satu tangannya menopang dagu dan menatap Alvano, "Kapan gue bisa kek lo, Van? Tunggu gue kaya dulu kali yak?"

"Fokus sama beasiswa lo, anjeng. Kesel gue," gerutu Mei.

Chikal mendelik, "Ya gimana, gue yang miskin ini kan sesekali pen kaya. Lagian, si Vano cuek banget sih jadi manusia. Heran gue."

Wajah El sontak terangkat. Alis menyatu bingung. Ia menatap tak mengerti, "Vano... cuek?" tanyanya. Sepertinya, Vano dan kata cuek itu tidak bisa disatukan, mengingat betapa banyaknya ia merecoki El dengan ini-itu.

Koko mendengus, "Cuek, judes, ketus," gerutunya.

Kali ini, dahi Vano yang mengerut, "Gue engga," bantahnya tak terima.

"Lo iya!"

"Kalian inget ngga, pas si Ezra nyindir gue terus disindir balik sama Vano waktu itu?" seru Chikal bersemangat, "Gila, gue rasanya pengen ngakak pas tu manusia kicep ngga bisa ngebantah."

"Sori, tapi seinget gue lo emang ngakak waktu itu," balas Mei sambil memutar bola matanya bosan.

"Seharusnya lo liat baik-baik muka tololnya si Ezra! Astaga, lucu banget sumpah."

El menunduk. Menatap Vano yang tengah mencibir pelan. Seingat El juga, ketika SMA dulu, Vano tampak baik-baik saja bersama teman-temannya. Tidak terlihat cuek atau judes dan ketus seperti yang Koko ujarkan tadi. Oke, mungkin dia memang terlihat lebih pendiam ketika bersama mereka. Tapi... masa sih?

"Jangankan si Ezra, lo inget ngga pas Pak Alif ngeremehin Vano bisa masuk fakultas kita gegara Ayahnya Dokter dan kenal sama Rektor?" ujar Mei lagi.

Koko berdecak, "Itu mah ngga mungkin bisa dilupain. Lagian Pak Alif, padahal bukan Dosen fakultas kita, tapi kenapa malah ribet begitu sih?"

"Ya namanya juga manusia," Bayu jengah mengingatnya. Hanya karena dia Dosen, cih. Memang banyak Dosen yang memiliki perangai baik, atau setidaknya profesional. Tapi, tidak bisa dipungkiri, masih ada juga mereka yang berpikiran sempit dan menyebalkan seperti itu.

Vano mendengus, "Ngga penting juga ngurusin itu orang."

"Iya, emang. Tapi nilai matkul lo auto E," ujar Chikal, "Lo emang ngga bisa ngerem mulut apa gimana, Van?"

"Nilai gue E cuma gegara gue ngebela diri karena hinaan dia, nunjukin dia emang ngga pantes jadi Dosen," Vano mengambil ponselnya yang bergetar menerima pesan masuk. Pesan dari salah satu grup organisasi, "Dulu gue bisa nahan diri buat ngga ngomong macam-macam."

"Dulu?" ulang Bayu.

"Hm. Cuma beberapa tahun ini, gue kenal baik sama orang yang ga bisa ngerem mulutnya," lanjut Vano sambil melirik El.

"Apa?" El menyahut sinis.

"Gapapa kok, Sayang," kemudian meletakkan ponselnya kembali.

"Ngomong-ngomong, gue penasaran dari dulu. Kalian udah pacaran berapa lama?" Mei menatap sepasang kekasih itu dengan lekat. Kedua tangan menjadi penopang dagu. Menurutnya, pasti sudah cukup lama mengingat keduanya sudah tinggal bersama seperti ini dan El sendiri sudah mengenal baik keluarga Vano.

Kedua orang itu sontak menatap Mei. Namun, tidak langsung menjawab.

El mengerjap. Lalu, beralih menatap Vano, "Ngomong-ngomong, sejak kapan kita resmi pacaran?" tanyanya. Seolah baru sadar.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now