• 4 •

50.4K 6.8K 442
                                    

"Kau bilang ini makanan?!"

Semua piring-piring yang terisi makanan di atas meja itu, disingkirkan oleh wanita itu dengan marah.

"Dasar anak tidak tau diri! Aku bekerja siang malam agar kita bisa hidup, tapi apa yang kau lakukan, hah?! Memasak makanan saja kau tidak bisa! Tidak berguna! Bagaimana bisa aku melahirkan anak sepertimu!"

Tangan lentik yang biasanya digunakan untuk membelai tubuh para lelaki kesepian itu, memukul tubuh kecil anaknya. Tak peduli dengan isak tangis yang dikeluarkan oleh si kecil, ataupun permintaan ampun olehnya.

"Ukh.. Mama.. hiks.. Mama, maaf.. jangan pukul lagi.."

Wanita cantik itu berkacak pinggang dan mendengus kasar, "cepat bereskan semua ini!" serunya.

Rambut kecokelatan itu berayun saat kepalanya mengangguk cepat karena takut. Tubuh yang awalnya meringkuk agar pukulan sang Mama tidak mengenai bagian vital tubuhnya itu, langsung segera beranjak. Namun, lengan kecilnya dicengkram erat oleh wanita tersebut.

"Kalau sampai diwaktu berikutnya kau tetap tidak bisa memasak makanan yang enak, lihat saja nanti hukumannya."

•••••

Kedua mata itu membuka. Sinar matahari menyiram wajahnya secara cuma-cuma, karena ia lupa menutup pintu kaca balkonnya itu dengan gorden kemarin malam.

Ia segera mendudukkan dirinya, lalu meringis pelan saat merasakan kaku di bahu kiri yang ia timpa semalaman, dan akibat tidur di lantai.

Lalu, El termangu. Kedua matanya menatap kosong perban tangan kirinya yang dihiasi darah kering itu. Dengan gerakan perlahan, ia mulai membuka perban tersebut, dan benar saja. Lukanya membuka.

Ia menghembuskan napas pelan dan memeluk kedua kakinya dengan tangan kanan.

Rasanya... aneh.

Ah, tidak. Tidak seharusnya ini menjadi hal aneh bagi El. Hampa yang sedang ia rasakan sekarang, akan selalu datang tiap kali ia selesai menangis. Seharusnya El terbiasa, dengan kekosongan ini.

Perlahan, tubuh itu beranjak berdiri. Membuka sweater yang tak ia lepas dari semalam, lalu membuka kancing-kancing kemeja sembari berjalan menuju kamar mandi. Setelah itu, El terpaku. Menatap tubuh kurusnya yang begitu 'kotor', terpantul dengan suka rela dari cermin.

Bagaimana bisa orang sekotor dirinya masih bisa hidup hingga sekarang?

Mengapa takdir begitu kejam?

Kedua mata itu menutup, dan menghela napas. Terus mengeluh karena takdir pun tak ada gunanya. Mata itu kembali membuka, lalu melirik tempat sampah yang ada di sana. Seutas tali yang terputus memenuhi tempat sampah itu.

Hah, bahkan ia tidak diijinkan untuk mati karena gantung diri. Tali itu putus sesaat sebelum ia kehilangan kesadaran.

Wajahnya ia usap dengan kasar.

Hidup pun tak ada gunanya. Sebenarnya apa yang ingin takdir tunjukkan padanya? Kenapa dia tidak diperbolehkan untuk mati?

Bibir itu ia gigit keras.

Orang sepertinya tidak akan bisa menemukan kebahagiaan lagi. Terlalu sulit. Terlalu mustahil.

Dahinya ia senderkan ke cermin itu. Menatap pantulan matanya dengan nanar.

"Kenapa lo harus lahir? Kenapa lo ngga digugurin juga dulu?" bisiknya pelan, "dari sekian banyak janin yang orang itu gugurin, kenapa harus lo yang hidup?"

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now