BAB 24 || BIMA

Mulai dari awal
                                    

Blur?

Tidak.

Kalian hanya pusing melihat ketampanan yang hakiki.

(◣_◢)

Aku membuat sedikit aturan untuk hubunganku dengan Maya. Pertama, kami tidak boleh memberitahu hubungan kami ke anak-anak di sekolah. Kedua, Maya tidak boleh memanggilku Naga. Ketiga, tidak ada umbar foto di media sosial. Dia memaklumi aturan-aturan itu karena aku memberitahu kalau Ayah tidak memperbolehkanku pacaran dan jika aku ketahuan, aku akan diberi hukuman yang besar.

Tentu saja, aku tahu kalau dia merasakan sedikit rasa sakit karena aturanku itu. Dia perempuan yang punya perasaan lembut. Hubungan rahasia bukan hal yang diinginkan olehnya. Namun, itu adalah hal yang harus kulakukan untuk hubungan ini. Maya, aku melakukan ini untukmu juga.

"Jadi aku harus memanggilmu siapa?" tanyanya.

Aku mengendarai sepeda, dia membonceng di belakang dengan memegang erat pinggangku. "Bagaimana kalau Bima?" tanyanya.

"Nama yang cukup bagus."

"Kita berdua bisa disingkat jadi Bimaya."

Maya tertawa. "Untung namaku bukan Moli."

"Memangnya kenapa kalau Moli?"

"Ish! Kutil Cupang nggak peka banget deh! Nama kita digabung jadi Bimoli, merek minyak!" Mana aku tahu merek minyak di negeri ini?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ish! Kutil Cupang nggak peka banget deh! Nama kita digabung jadi Bimoli, merek minyak!" Mana aku tahu merek minyak di negeri ini?

"Itu rumahku!" serunya.

Aku menghentikan sepeda dan memarkirkannya di depan rumah kecil ini. Membayangkan Mayaku tinggal di rumah seperti ini membuatku ingin membangun istana sendiri untuknya—Jendral pasti akan mengatakan, 'itu terlalu mencolok, tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia'.

Di sebelah rumah ini ada warung kecil, dari bangunan yang luasnya hanya tiga kali tiga meter itu keluar seorang nenek. Maya langsung menyalami neneknya, dan aku mengikuti.

"Dia Na—"

Aku melirik ke arah kekasihku.

"Dia Bima," kata Maya. "Pacar Maya," lanjutnya berbisik.

"Cacar buaya?" tanya si nenek. Aku menahan tawa.

"Pa-car Ma-ya," Maya mengoreksi pelan-pelan.

Lalu, Nenek kembali memperhatikanku. Dari bawah hingga atas. "Duh, kasepnya." Dia menempelkan dua telapak tangannya ke pipiku. Aku membalas dengan senyuman.

"Buatin teh atuh Maya," suruh Nenek.

Sementara Maya pergi ke dapur. Aku dan Nenek duduk di ruang tamu. Nenek bercerita tentang Maya dan aku hanya mendengarkan.

"Maya sudah lama ditinggalkan bapaknya, ibunya sekarang kerja di Saudi. Tiap hari Maya bantuin Nenek, antar jemput adiknya ke sekolah, jaga warung. Tapi dia masih punya cita-cita besar pengin jadi juara olimpiade. Sekarang, dia lagi sedih karena gagal ikut apa itu yang di Filipina sekarang?"

Naga, Jangan Bucin!「SUDAH TERBIT」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang