addicted to you

6.1K 448 5
                                    

DIGO

Aku menggandeng tangan mungilnya hingga kami tiba di perpustakaan. Aku melihat Marcus si penjaga perpustakaan tenggelam dibalik buku besar yang dibacanya. Aku melangkah perlahan agar tak membuat keributan, sepertinya Sisi mengerti dan ikut mengendap-endap di belakangku. Sebenarnya bukan masalah besar jika Marcus melihat kami di perpustakaan pada jam pelajaran, aku hanya malas memberi penjelasan panjang lebar padanya.

Aku terus melangkah melewati rak-rak buku yang menjulang itu. Aku berhenti tepat di depan pintu kaca besar yang mengarah ke balkon luar. Kursi-kursi rotan dan meja-meja kayu juga berjajar rapi di balkon, khusus disediakan apabila perpustakaan sedang ramai. Aku memegang kenop pintu kaca itu, seperti biasa pintu itu membuka dengan sendirinya. Aku menoleh pada Sisi, mengedikkan kepalaku ke arah balkon. Matanya berbinar menatapku.

"Wah. Bagus banget!", katanya sambil merentangkan kedua tangannya tepat di sisi tiang pembatas balkon.

Aku menyilangkan tanganku di depan dada dan tersenyum melihat sifat kekanakannya. Aku melihat sayap putihnya melengkung cantik di punggungnya. Sepertinya ia juga terkejut dengan sayapnya dan menoleh ke belakang, lalu melihatku yang kini duduk bersandar pada sebuah kursi malas yang nyaman. Ia menghampiriku.

"Lo suka kesini?", tanyanya padaku, lalu duduk di kursi malas lainnya di sebelahku.

"Kadang. Kalo habis ujan gini, gue suka di sini.", jawabku singkat.

"Kok habis ujan?", tanyanya polos.

Aku melihat matahari tersenyum malu dari balik awan. Membiaskan cahaya indah yang memanjakan mata. Menimbulkan pelangi yang melengkung indah melewati garis horison jauh di depan sana. Aku menunjuk ke arah pelangi itu, Sisi mengarahkan matanya mengikuti tanganku. Lalu aku mendengarnya memekik tertahan.

"Ih! Pelangi! Bagusnya!", katanya lagi. Aku terkekeh melihatnya.

"Kenapa? Kok ketawa?", tanyanya sambil menoleh padaku.

"Ngga papa. Lucu aja. Lo ngga pernah liat pelangi?", tanyaku pada Sisi.

"Ya pernah lah. Tapi kan di bumi. Eh, pelangi di sini sama di bumi sama ngga sih?", cerocosnya panjang lebar. Kata-katanya barusan membuatku terkejut.

"Di bumi? Bener kan dugaan gue, lo bukan dari sini?", tanyaku padanya. Sisi membelalak kaget, membekap mulutnya sendiri.

"I.. Iya. Hmm. Panjang ceritanya. Intinya Galeo dan Ulysia meninggalkan gue di bumi demi keselamatan gue. Mereka jemput gue setelah gue berulang tahun yang ke delapan belas. Nah, pas kemarin gue kesini, gue diajak naik pelangi itu. Baru deh, sampe ke gerbang.", jelasnya berusaha sesingkat mungkin. Aku teringat saat aku bertemu dengannya pertama kali di dekat gerbang nightingale. Lalu aku menatap pelangi itu.

"Woi!", Sisi membuyarkan lamunanku.

Aku hanya berdeham menyembunyikan rasa kagetku, lalu mengangkat kedua alisku ke arahnya.

"Kok bengong? Ini mau ngapain kita di sini?", tanya Sisi padaku.

Aku teringat pelajaran creatures yang ditinggalkannya saat membantuku tadi. Aku pun menjawabnya dengan sedatar mungkin.

"Tadi kan lo udah bantuin gue dan tugas gue jadi cepat selesai. Sekarang gantian gue bantuin lo", jelasku padanya. Sisi melempar pandangan bingungnya kepadaku.

"Bantuin apa yah?", Sisi menatapku bingung.

"Kalo ngga salah, materi pelajaran creatures hari ini seharusnya udah masuk bab fairy atau peri kan?!", kataku meminta persetujuannya. Sisi menganggukkan kepalanya.

"Yang lain aja deh. Masa ngebahas diri sendiri?", protesnya padaku.

"Lo harus mengenal diri lo sendiri dulu kan?!", kataku, melempar tampang sinisku padanya.

Padahal dalam hati aku ingin tersenyum dan tertawa melihat sifatnya. Sisi menatapku penuh pertimbangan.

"Hmm. Oke deh.", aku mendengar suaranya diikuti anggukan bersemangat.

Ia menghenyakkan tubuhnya dan bersandar di kursi malas sebelahku, mendengarkan penjelasanku. Mungkin aku tak terlalu bagus menjelaskan sesuatu, paling tidak aku mencobanya. Hitung-hitung membalas kebaikannya tadi. Sisi menatapku serius, memperhatikan setiap kata-kataku.

"Jadi, keahlian gue soal tanaman itu? Ada hubungannya dengan peri?", tanya Sisi padaku.

"Iya lah 'Si. Selain bakat dari sananya kalo lo asah, lo bakal bisa lebih hebat lagi dari pada sekedar numbuhin tanaman dalam pot-pot kecil.", jelasku padanya. Sisi mengangguk-angguk paham.

"Ada yang mau ditanya lagi ngga?", aku bertanya lagi pada Sisi. Sisi hanya menggelengkan kepalnya.

"Gue lanjutin aja ya.", kataku padanya. Ia mengangguk antusias. Ia bersandar pada kursi malas dan menopang dagu menatapku yang sibuk menjelaskan.

"Ngga semua peri punya kekuatan. Kadang mereka cuma dikasih satu kemampuan. Gue liat lo punya banyak kelebihan. Tapi..", aku menghentikan kata-kataku ketika aku melihat matanya terpejam. Dia tertidur.

Aku menghela napas perlahan. Sepertinya dia kelelahan. Aku mendekatkan wajahku ke arahnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku tertarik. Wajahku dengan wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti saja. Aku memperhatikan tiap bagian wajahnya. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis dan merekah, alisnya yang membingkai indah wajahnya , dan mata terpejamnya yang membuatku merindukan tatapan mata cokelatnya.

Aku menghirup aroma yang manis menguar dari tubuhnya. Hampir sama dengan aroma peri lainnya. Namun aroma Sisi sedikit berbeda. Ada sesuatu dari aromanya yang membuatku ingin berdekatan dengannya. Darahku berdesir dan jantungku berdetak cepat. Ada sesuatu dalam dirinya, entah apa itu, tapi itu seperti candu bagiku.

Pikiranku melayang kembali ke ruang penyimpanan. Saat aku mendekap tubuhnya dari belakang untuk mengangkatnya ke rak paling tinggi di depan kami. Aku menghirup aroma manisnya itu sangat dalam. Aku tak tahu mengapa tapi itu membuatku jauh lebih baik dan merasa nyaman. Sisi, siapa kamu sebenarnya? Mengapa kamu membuatku seperti ini? Kataku dalam hati. Aku kembali menatap wajahnya yang damai saat tertidur. Bahkan ia tetap menyunggingkan senyum saat tertidur.

------------------------------------------------------

"Digo!", aku mendengar sebuah suara memanggil namaku.

Aku menoleh ke belakang. Aku melihat Elea berjalan cepat ke arahku. Aku rasa ia pasti curiga melihatku muncul dari halaman belakang dan bukan dari ruang penyimpanan. Aku berdecak lemah dan menatapnya.

"Ada apa lagi Elea?", tanyaku sambil menatapnya tak berselera.

"Dari mana kamu, Digo?", tanya Elea padaku.

"Itu tidak penting Elea.", jawabku singkat.

"Apa kamu sudah menyelesaikan hukumanmu?", tanya Elea menatapku penuh selidik.

"Tentu. Silahkan cek ruang penyimpanan. Aku meletakkan semua pada tempat yang tertera di label.", jelasku. Elea mengangkat sebelah alisnya padaku, menatapku tak percaya.

"Tidak penting bagaimana caranya kan? Yang penting tugas itu sudah selesai.", kataku lagi.

"Baiklah.", kata Elea.

"Itu saja? Kalau begitu aku ke ruang makan. Aku lapar.", kataku sambil membalikkan tubuhku, melangkah menjauhi Elea, menuju ruang makan.

Aku tidak mendengar Elea berbicara. Sepertinya ia masih menatap punggungku yang menjauh dengan wajah bingung. Terserahlah. Aku tak begitu memedulikannya. Aku cepat-cepat menuju ruang makan, aku harus bertemu salah satu peri makan yang mungkin saja mau membantuku mengantarkan makan malam untuk Sisi.

Tunggu! Ini seperti bukan aku. Kenapa aku harus memikirkan makan malamnya?! Ah entahlah. Aku juga sudah mulai tak peduli lagi. Yang aku tahu aku harus membawakan makan malam untuk Sisi yang tertidur kelelahan karena membantuku tadi. Sisi.. Sisi.. Sisi.. Ada apa sih dengan kamu?! Kenapa kamu membuatku aneh begini?!

------------------------------------------------------

nightingaleWhere stories live. Discover now