18. Pertemuan Singkat

442 32 5
                                    

Setelah perdebadan lama, Hinata hanya bisa menghela napas pasrah sebab mereka gagal menuju Pallete Town hari ini dan menggatinya di hari lain.

Sebenarnya, bukan karena Hinata sangat menantikan ke sana, ia malah senang kalau rencana itu dibatalkan. Ia hanya tidak ingin pergi saat weekend, karena saat itu waktu yang akan mereka habiskan pastilah banyak dan resiko kejahatan pun akan banyak. Dan Hinata tak ingin kejadian seperti beberapa tahun lalu terulang pada anaknya.

"Kalau begitu weekend nanti paman jemput pagi, jadi kalian harus bangun lebih awal supaya tidak tertinggal, oke?"

Himawari dan Boruto menyahut serempak. Mereka senang, akhirnya mereka bisa jalan-jalan. Apalagi, mereka tak hanya akan menaiki bianglala, tetapi juga permainan lain.

Boruto tak sabar ingin melihat robot gundam yang hanya bisa ia lihat di komik dan tivi, atau bermain mobil-mobilan seperti di game center begitu juga Himawari yang tak sabar ingin mengunjungi tempat yang dikelilingi ribuan bintang seperti yang ceritakan Kiba.

"Mom, apa boleh papa ikut?" Mata Himawari berbinar penuh harap ketika memandang Hinata.

"Papa pasti ikut. Papa sudah janji." Boruto menyelutuk. Bocah cilik itu terdengar sangat meyakinkan. "Ya, kan mom?"

Jeda beberapa detik saat Hinata berpikir. Di kepalanya terbayang satu sosok lelaki saat kedua anaknya menyebut kata papa dengan nada riang. Tetapi, segera ia tepis. Hinata tak mau mengingat lelaki itu apalagi membayangkan sosoknya. Kalau begitu, siapa yang dimaksud kedua anaknya?

"Papa? Neji-oji san?"

Boruto menggeleng, "Bukan, mom."

"Neji ji-san tidak bisa pergi. Paman sibuk." Himawari menginterupsi dengan nada kesal. Bibirnya mengerucut seperti burung pipit hingga membuat Hinata ingin sekali mencium putri kecilnya itu.

"Lalu papa siapa yang kalian maksud?"

"Papa Naruto."

Deg.

Jantung Hinata berdebum cepat ketika nama itu keluar dari bibir kecil putranya. Terasa sangat menyakitkan seperti diremas, dan tanpa diperintah bayangan lelaki itu kembali hadir dalam benak. Menghantamnya bertubi-tubi tanpa ampun.

"Dasar brengsek!" Hinata mendesis. Meski suaranya pelan, tetapi Kiba bisa merasakan kebencian dari perkataan ibu muda itu.

Lelaki itu menggeleng kemudian menghela. Sepertinya si ayah Boruto dan Himawari harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan hati Hinata. Jelas sekali terlihat dari ekspresi wanita itu. Padahal Himawari dan Boruto haya menyebutkan nama Naruto. Tapi, wajah Hinata mengeras sampai urat-urat di lehernya nampak. Yah, Kiba bisa mengerti, karena ia pun menyesalkan perbuatan Naruto, bahkan dulu ia berniat menghajar laki-laki itu sampai koma.

Lalu bagaimana dengan rencana Hanabi? Apa gadis itu akan tetap melaksanakan rencananya? Kiba penasaran, tetapi tak bisa ikut membantu jika Hinata akan menyesal nanti.

"Mom, are you okay?" Himawari menyapa ragu sesekali melihat ke arah Kiba di kursi pengemudi. Ingin bertanya, tapi Kiba tidak melihatnya dan hanya tetap fokus pada jalan.

Himawari agak takut sebab aura ibunya berubah menakutkan sekarang. Meski ia tak melihat langsung wajah ibunya, tapi Himawari seperti bisa menebak seberapa mengerikan wajah ibunya sekarang. Pasti lebih menakutkan dari ketika memarahi karyawannya di kantor.

"Ah, i'm sorry, Honey. Ibu tidak apa-apa. Tadi kau tanya apa, Sayang?"

Himawari menatap ibunya ragu-ragu, tangannya terjerat satu sama lain, ia jadi tak berani mengulang pertanyaan yang beberapa detik lalu ia ungkapkan. Pada akhirnya gadis cilik itu hanya menggeleng. Meski usianya masih sangat kecil, ia sudah bisa merasakan perubahan susana hati mamanya. Biarpun ia tak tahu penyebabnya apa.

Senja Di Penghujung TahunWhere stories live. Discover now