16. Rahasia Mereka

800 53 6
                                    

Detak jam pada pergelangan tangan Naruto menjadi satu-satunya pengisi kesunyian di dalam ruangan laki-laki itu. Tangan yang sedari tadi membolak balikkan kertas tak sanggup mengusir ketegangan yang ia rasakan.

Sejak pemberitahuan Shikamaru beberapa menit yang lalu, jantungnya terus menerus berdetak dengan irama yang cepat. Gugup namun juga tak sabar. Antara merindu dan takut. Ia ingin menemui wanita itu, namun juga ia takut dengan respon yang akan diberikan Hinata.

Semalam, sudah cukup memberitahu dirinya bahwa wanita itu tak ingin melihatnya. Lalu bagaimana dengan anak-anaknya? Ia benar-benar sudah sangat menyayangi mereka. Bahkan sebelum ia tahu kebenarannya, hatinya sudah luluh pada Boruto dan Himawari.

Yah, kartu AS yang ia pegang adalah mereka. Tidak peduli bagaimana respon Neji atau Hiashi, tak peduli seberapa dalam Hinata membencinya, ia tetap akan mengambil kembali apa yang sudah menjadi miliknya. Meski itu terdengar egois, namun jika menyangkut kebahagiaan, Naruto akan tetap melakukannya.

Naruto menyeringai. Di sela-sela pemikirannya, ia memantapkan tujuan.

Suara ketukan dari pintu mengalihkan perhatian Naruto. Laki-laki itu mengangkat wajahnya lalu menyimpan laporan yang tanpa minat dia periksa baru kemudian ia menyahut.

Shikamaru masuk dengan map file di tangan kanannya. Tak ada sekertaris yang membukakan pintu karena ia sudah biasa. Lagipula ia adalah tangan kanan Naruto. Ia bisa menjadi apa saja yang dibutuhkan Naruto. Dan dibukakan pintu oleh seorang wanita bukan gayanya.

"Apakah Hinata sudah tiba?"

Bahkan Shikamaru belum sampai di depan meja, Naruto langsung bertanya intinya pada dirinya. Dan tidak seperti nada yang biasa Naruto gunakan yang terkesan datar dan dingin, kali ini Naruto tak menyembunyikan antusiasnya.

Shikamaru meletakkan map file di atas meja Naruto sebelum menyahut, "Sudah. Kau bisa melihatnya sendiri." Lalu dengan santainya ia duduki sofa di depan meja pria blonde itu. Ia sama sekali tak terpengaruh pada perubahan Naruto, karena ia sudah tahu jika sahabatnya itu akan bersikap demikian. Lagipula dulunya Naruto adalah jenis laki-laki yang bersemangat sebelum insiden dimana ia kehilangan Hinata- yang sebenarnya hanyalah kebohongan yang diciptakan oleh keluarga Hyuga.

Naruto tersenyum. Dari wajahnya sudah bisa Shikamaru tebak bagaimana perasaan laki-laki beranak dua tersebut, "Dia sudah di depan matamu. Apa kau hanya ingin berdiam di sini? Dan memeriksa laporan yang sudah selesai kukerjakan."

"Strategi dasar bisnis adalah biarkan lawanmu maju dengan tenang sebelum menyerangnya dengan kekuatan penuh."

Shikamaru angkat bahu. Lalu menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dan memejamkan mata. Pekerjaan dari Naruto terlalu banyak menyita waktunya hingga waktu tidurnya banyak terbuang.

"Kau yakin tidak mau menemui mereka?" Shikamaru kembali membuka suara. "Bukankah kau terlalu bersemangat hanya untuk berdiam di sini?

"Acaranya akan diadakan seminggu lagi Shika. Jika aku menemuinya sekarang, dia akan kabur. Meski aku sangat merindukan mereka, aku harus bersabar."

"Ck, mondekusai. Pastikan aku mendapatkan jatah liburku. Dan jangan memotongnya lagi. Aku tidak mau mengunjungimu saat aku sedang bersenang-senang dengan istriku."

"Kau akan mendapatkan cuti jika semuanya berjalan lancar, Shika."

Shikamaru bangkit, menatap Naruto sekilas sebelum berbalik menuju pintu. "Ah," Shikamaru menghentikan langkahnya lalu berbalik pada Naruto yang entah kapan sudah menyeringai di tempatnya. Namun, Shikamaru hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Ia menggeleng, berbalik kembali dan membuka pintu lalu keluar meninggalkan Naruto dengan pemikirannya di dalam ruangan laki-laki itu.

Senja Di Penghujung TahunWhere stories live. Discover now