Rumah Gudang oleh Bayu Febriyanto

137 6 0
                                    

Ario

Jika kita melintasi Jalan Rambutan dan lewat dekat taman bermain, di sisi kiri, kita akan melihat sebuah rumah dua lantai yang semakin hari keadaannya semakin memprihatinkan. Rumah itu tidak berpenghuni. Halamannya dipenuhi rumput liar dan ilalang setinggi lutut. Cat dindingnya sudah mulai pudar dan mengelupas. Pagar besi yang mengelilingi rumah itu sudah berkarat. Beberapa genteng sudah melorot. Entah sudah beberapa lama rumah itu sudah tidak tinggali. Rumah itu terkenal dengan sebutan Rumah Gudang.

Rumah besar yang tak berpenghuni selalu menimbulkan kesan horor bagi yang melihatnya. Konon, kondisi seperti itu membuat hantu-hantu betah tinggal di sana. Tidak ada yang tahu kenapa rumah itu disebut Rumah Gudang. Dari rumor yang beredar, rumah itu ditinggalkan pemiliknya setelah ada kejadian mengerikan yang terjadi di sana. Anak perempuan pemilik rumah ditemukan gantung diri di dalam kamarnya. Hal itu terjadi karena si anak hamil dan lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas perbuatannya ditemukan over dosis sehari sebelumnya.

Itu kata orang, antara percaya dan tidak percaya sebenarnya.

Aku dan Angga sedang sial. Hari ini mata kuliah yang seharusnya ada di jam pagi ditukar ke jam sore yang akhirnya membuat kami baru keluar kampus pukul lima sore. Dalam situasi apa pun, kami selalu menghindari Rumah Gudang ketika pulang dari kampus. Namun, karena ada perbaikan jalan—yang membuat macet total jalanan yang biasa kami lalui—aku dan sahabatku itu terpaksa memutar. Mau tak mau kami harus lewat di depan Rumah Gudang. Jujur saja perasaanku tidak enak. Apalagi hari mulai gelap dan mendung menggelayut di langit.

"Coba ada jalan lain." Aku bergumam yang rupanya didengar oleh Angga.

"You wish. Tapi menurutku kita bisa menghemat waktu sampai rumah. Jalannya juga lancar."

"Iya, orang serem gini."

Motor Angga melaju di jalan aspal yang lama-lama berubah menjadi jalan tanah penuh kerikil. Tidak tampak rumah penduduk di kiri-kanan jalan. Ilalang setinggi dada orang dewasa menemani laju motor Angga. Lihat, bahkan dari jalannya pun sudah ada tanda-tanda tak terjamah manusia.

Kecepatan motor Angga berkurang, aku menepuk pundak sahabatku itu. "Ada apa, Bro?"

"Nggak tahu nih."

Tiba-tiba motor Angga mati. Tepat di gerbang depan Rumah Gudang. Aku menelan ludah. Semoga ini bukan suatu pertanda buruk. Angga mengumpat pelan sambil mengayunkan kakinya untuk menepi dengan aku masih duduk manis di boncengan.

"Kenapa sih motor ini?" gerutu Angga kembali menekan tombol starter. Beberapa kali mencoba, tapi hasilnya nihil. Angga mengengkol motor, hasilnya sama saja. Motor tetap mati dan kami masih berada di depan Rumah Gudang.

Aku masih sibuk memandang rumah itu, rasanya sangat sulit mengalihkan pandangan dari sana. Ada rasa penasaran yang mulai menaungi benak.

"Woi, Ario, turun!" Seruan Angga mengagetkanku.

Angga tampak jengkel karena aku masih bertenger di boncengan tanpa ada niat untuk turun. "Ayo, turun, jangan bengong terus. Aku mau periksa busi motor!" serunya sekali lagi.

Aku turun dari motor dan berdiri mematung. Mataku masih menatap rumah itu. Pendanganku terkunci pada pagar jerujinya yang berkarat. Lalu beralih ke pintu kayu dengan ukiran bunga besar di tenggah-tengahnya. Berlanjut ke jendela besar di lantai dasar yang tampak menampilkan siluet sesuatu.

"Ario...."

Aku terlonjak. Apa barusan ada yang memanggilku?

"Kamu manggil aku, Ngga?"

"Hah?!"

"Kamu barusan manggil aku?"

Angga menanggapiku pertanyaanku dengan tatapan heran.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 26, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Imaji dalam KataWhere stories live. Discover now