Secangkir Memoar oleh Endina Artha

370 32 0
                                    

Dewasa.

Apa yang bisa aku bayangkan tentang satu kata itu?

Mungkin melakukan hal yang tidak bisa dilakukan waktu kecil. Bergulat dengan waktu, pikiran, kesibukan duniawi, sampai terlibat dalam permainan perasaan seperti yang dialami orang dewasa kebanyakan.Dewasa juga bukan sekadar fisik, tetapi juga akal dan pikiran. Bisa menghargai, berpikir lurus, membedakan mana yang baik dan buruk, mengemban tanggung jawab, juga rentetan pernyataan tentang usia dewasa lainnya. Hampir sebagian mengalami hal serupa dan tidak sedikit yang masuk terlalu dalam. Menimbulkan banyak rasa dan asa yang diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda. Sedih, gembira, marah, nelangsa, stres, depresi, dan lain sebagainya. Sepeti itulah semuanya berjalan.

Banyak orang berpikir, menjadi dewasa adalah sesuatu yang menyenangkan. Menyenangkan dalam hal bisa bekerja dan mendapat penghasilan sendiri. Menyenangkan karena bisa melakukan hal yang dulu sangat diidam-idamkan waktu belia. Menyenangkan karena berada di zona yang membuat banyak orang sedikit abai akan akal sehatnya. Cinta. Lebih menyenangkan lagi karena tidak bertemu dengan guru killer yang menagih tugas sewaktu duduk di bangku sekolah.

Akan tetapi, bukan itu arti dewasa yang aku rasakan. Bagiku, menjadi dewasa adalah hal paling menakutkan. Pikiran mengenai dunia yang mulai acuh dan menjauh. Pikiran bagaimana sebuah pengkhianatan mulai mendera kepercayaan. Semua yang semula ada, menjadi hilang terkikis waktu.

Usia kita misalnya. Sebuah perpisahan menjadi hal yang kuanggap paling menyakitkan. Kenapa? Karena hampir semua orang akan pergi pada akhirnya. Terkadang tanpa salam dan terlalu tiba-tiba.

Saat kecil, aku sering mendamba agar cepat tumbuh dewasa. Aku mengira, menjadi dewasa itu adalah hal paling keren. Lebih keren dari semarak kembang api saat tahun baru.

Tunggu.

Tidak. Aku tidak menyukai kembang api. Mereka yang membuatku harus menarik diri dan bersembunyi di balik selimut dengan tubuh gemetar. Kembang api, suara petir, balon pecah, dan hal lain yang memicu keterkejutan, aku tidak menyukainya.

Di usia menginjak 20 tahun, secuil demi secuil kekhawatiran itu mulai timbul ke permukaan. Aku mulai kehilangan seseorang yang pernah kupanggil teman. Teman yang sangat mengenalku, mulai dari kebiasaan dan segala hal tentang diriku. Aku menaruh banyak kepercayaan pada awalnya. Tetapi kepercayaan itu justru menjadi bumerang mematikan hingga aku terbunuh oleh rasa sakit. Singkatnya, aku telah terkhianati oleh sebuah kepercayaan.

Aku menjadi lebih pendiam setelah satu-satunya teman yang menjadi lawan bicara sudah beralih kepada teman yang baru. Setiap kali melihat unggahan di akun media sosialnya, aku tersenyum getir. Setiap kali kami berpapasan, hanya tatapan tidak minatnya yang kuterima. Aku tidak tahu alasannya. Dia... hanya menghilang begitu saja.

Aku menghela napas sejenak. Menikmati udara sore yang berembus tenang melalui kaca jendela yang sedikit terbuka. Cuaca hari ini mendung, dengan udara lembap dan cukup berangin. Ingatan masa lalu sering memelesat tanpa izin di saat seperti ini.

Ingatan yang membuatku harus mengenang sendiri masa lalu. Karena pada dasarnya, aku memang selalu sendiri. Entah itu di tengah keramaian atau memang hanya sendiri, aku selalu diliputi oleh kesendirian.

Kesendirian itu seolah menjadi teman akrab yang paling memahami diriku. Aku tidak percaya lagi dengan orang lain, asal kau tahu. Sejak sebuah pengkhiatan mendera peparuku hingga menghantarkannya pada kerapuhan yang tiada henti. Aku sakit, aku rapuh, tetapi hidupku tidak kuhabiskan untuk mengukir terlalu dalam sesuatu yang tidak membawa pengaruh baik bagiku. Seperti itulah aku menjalani masa remajaku. Tidak ada yang spesial, tidak ada yang berkesan. Membosankan. Dan hampa.

Aku menaruh ponsel ke dalam tas setelah menerima panggilan dari Ayah. Sore ini, aku pulang sedikit lebih cepat dari biasanya. Ayah menghubungiku untuk segera pulang karena Ibu sedang tidak enak badan. Bukan masalah serius sebenarnya. Hanya saja, Ibu ingin beberapa jambu merah kesukaannya. Aku segera bergegas setelah merapikan peralatan lukisku yang cukup berantakan. Kupandangi sekali lagi kanvas berukuran besar yang menampilkan potret abstrak seorang balerina yang meliuk indah di atas ubin. Bibirku mengukir senyuman singkat.

Imaji dalam KataWhere stories live. Discover now