Is it our last?

328 15 3
                                    

Sedari fajar, Jeno dan Mama Lee perjalanan kembali ke rumah sakit untuk melihat keadaan Jeni. Begitu masuk ruangannya, Jeno terkejut karena tak menemukan Renjun di dalam ruangan perawatan Jeni padahal janjinya ia menjaga Jeni selama Jeno tak ada. Saat ditanya, Jeni hanya bisa menggeleng karena saat bangun ia juga tak melihat Renjun.

"Tapi kamu percaya kalau dia engga bakal tinggalin kamu gitu aja? Ini masih pagi banget, Jeni." Jeno agak frustasi.

"Engga apa-apa. Aku percaya Renjun kok." kata Jeni. "Jen," panggil Jeni.

"Hm?" Jeno menatap saudarinya itu. Wajahnya masih terlihat tak menyenangkan.

"Aku mau pergi." lanjut Jeni.

Sontak Jeno terkejut mengingat kondisi Jeni yang hanya bisa terbaring saat ini. "Kemana? Sakit begini sok-sokan mau pergi."

"Ke... Surga... Hehe." Jeni berniat bercanda.

Jeno terdiam. Air matanya menetes secara tiba-tiba. Jeni jadi khawatir.

"Kok diem? Jen... Maaf nih. Jangan nangis." Jeni meraih tangan Jeno lalu mengusapnya.

"Jangan bilang gitu lagi, aku engga suka." Jeno agak marah. Airmatanya masih saja menetes.

"Tapi kamu engga boleh sedih nanti." lanjutnya. "Kalau aku beneran pergi." tambahnya dengan suara dilirihkan.

"Kita udah janji buat sampai tua bareng kan, Jeni? Apa kamu engga bisa tepati janji itu?" Jeno menggenggam erat tangan saudarinya.

"Aku engga bisa janji itu lagi sekarang." Jeni meneteskan air mata.

Keheningan menyelimuti mereka berdua untuk beberapa saat. Jeni hanya bisa memainkan jari-jari besar Jeno untuk menghapus rasa bosannya. Hingga akhirnya Renjun datang dengan membawa bungkusan besar di tangannya. Sebuah kursi roda yang ia beli dari toko peralatan rumah sakit. Ia juga membawa beberapa bungkus sarapan.

"Kursi roda yang kemarin itu kan cuma pinjam dari rumah sakit ini, sekarang kamu punya milik kamu sendiri." ujar Renjun.

"Kamu beli ini? Harganya kan mahal." Jeni bingung.

"Biar kamu bisa jalan-jalan dengan bebas, Jeni." kata Renjun dengan senyum manisnya.

"Mau coba?" tanya Jeno yang siap mengangkat tubuh Jeni. "Sekalian sarapan di taman, aku tau kamu bosen di kamar terus."

"Boleh emangnya?" tanya Jeni bingung.

"Pasti boleh, yuk." Jeno mengangkat tubuh Jeni dan perlahan memindahkannya ke kursi roda baru. "Kamu jauh lebih ringan dari terakhir aku angkat kamu pascakecelakaan. Turun berapa kilo?" Jeno agak heran karena saudarinya itu jauh lebih ringan.

"Lima kilo ada kali. Aku juga jarang perhatiin berat badanku akhir-akhir ini. Maaf juga karena aku kalau makan selalu balik dimuntahin." jawab Jeni sembari membenarkan posisinya duduk.

"Nyaman?" tanya Renjun.

Jeni mengangguk. Mereka akhirnya memutuskan pergi ke taman milik rumah sakit untuk sekadar bersantai bersama.

***

Siang menjelang. Jeni masih enggan masuk ke ruang perawatannya karena masih ingin menikmati pemandangan di luar ruangan. Jeno dan Renjun, yang berulang kali membujuknya, menyerah.

"Mama kira kalian pergi ke mana. Teman-teman kalian datang." Mama Lee menghampiri Jeni dengan diikuti oleh beberapa anak NCT.

Jeni tersenyum ketika melihat teman-teman Jeno datang dengan membawa beberapa hadiah kecil. Akan tetapi, keceriaannya tak bertahan lama setelah dirinya merasakan darah keluar dari hidungnya. Jeni meminta agar dirinya tetap di sana sampai darahnya berhenti mengalir.

Star TwinDonde viven las historias. Descúbrelo ahora