Setiap harinya pun Halilintar mengganti perban yang ada pada tubuh Gempa dengan telaten dan hati-hati. Luka-luka yang ada pada tubuh Gempa belum pulih seluruhnya, namun setidaknya luka-lukanya itu tidak separah saat Gempa ditemukan.

Namun sudah seminggu ini Gempa tidak pernah mengeluarkan suaranya lagi. Ia sangat sunyi. Lebih banyak terdiam, pandangannya pun seperti tenggelam di dimensi lain. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Gempa kini layaknya sebuah… boneka hidup.

Halilintar menggelengkan kepalanya. Menolak keras dengan apa yang dipikirkannya. Gempa pasti akan kembali. Ia akan pulih dan menjadi seperti sedia kala dengan senyuman ramah khasnya.

"Kak Hali… Bagaimana jika aku juga mengambil kuliah online seperti kakak? Jadi aku bisa membantu mengurus Gempa juga." Ujar Taufan yang kini membantu Halilintar mengganti perban luka-luka ditubuh Gempa.

Halilintar menghela nafas lelah dan memandang kearah Taufan, "sudah kubilang padamu, aku tidak bisa mengizinkan hal tersebut. Pada akhirnya kau pasti tidak akan konsentrasi dengan kuliah online nya."

Taufan mendecakkan lidahnya kesal dan mengerucutkan bibirnya kecewa. "Selalu saja seperti itu jawabannya. Padahal kan aku juga bisa tetap konsentrasi kuliah dan menjaga Gempa, kak."

Halilintar mengangkat bahunya cuek, "ya, ya, ya, terserah kau Taufan."

Halilintar merapihkan kembali perban dan obat-obatan yang dipakai kedalam kotak P3K dan menyimpannya dibawah ranjang Gempa. Halilintar dan Taufan pun beranjak dari tempatnya, bermaksud untuk menyiapkan makan malam hari ini hingga mereka melihat Ice yang berada diambang pintu kamar Gempa dengan raut wajah yang terlihat sedih.

Halilintar menatap tajam Ice. Ia masih belum bisa memaafkan Ice yang sudah menyakiti perasaan Gempa. Apalagi Ice sudah merahasiakan hubungan itu dengan Gempa darinya selama hampir sebulan lebih. Tentu saja itu membangkitkan amarah Halilintar. Kenapa Gempa mau memiliki hubungan itu dengan Ice… dibandingkan dengan dirinya?

"Oh Ice ada apa kemari? Tumben, biasanya kau menjenguk Gempa dengan Blaze." Ucap Taufan menghampiri Ice sembari tersenyum kecil.

Ice menundukkan kepala nya, menghindari tatapan tajam Halilintar yang ditunjukkan padanya. Kedua tangannya bertautan dengan gugup.

"Blaze belum pulang. Lagipula aku kemari karena… aku ingin berbicara dengan kak Gempa. Hanya berdua." Ucap Ice dengan pelan yang membuat Halilintar memandang Ice dengan marah.

"Kau ingin berbicara dengan Gempa? Berdua? Setelah kau menyakiti perasaannya, baru sekarang kau ingin berbicara padanya…? Jangan main-main denganku, Ice!" Hardik Halilintar sinis. Taufan menepuk pundak Halilintar dan menariknya mundur, menghentikan aksinya yang seperti ingin mengusir Ice.

"Jangan begitu pada adikmu sendiri, kak! Beri Ice kesempatan! Setidaknya dia sudah menyesali perbuatan yang dilakukannya! Jadi berikan dia kesempatan untuk berbicara dengan Gempa, oke?"

Halilintar terdiam. Ia menghembuskan nafasnya kasar dan berjalan kearah Ice lalu berhenti tepat disampingnya. "Aku masih belum bisa memaafkanmu jadi jangan sia-siakan kesempatanmu ini.."

Dengan itu, Halilintar pun berjalan pergi dengan perasaan yang masih kesal dan marah. Taufan hanya bisa menghela nafas pasrah dan menghampiri Ice sembari tersenyum. "Bicaralah. Gempa mungkin masih belum mau berbicara tetapi setidaknya dia masih bisa mendengarkanmu." Ditepuknya bahu Ice dengan pelan dan Taufan pun melangkah pergi dari situ, meninggalkan Ice dan Gempa berdua.

Puppet and String (Re-publish)Where stories live. Discover now