Setelah berhadapan dengan Ice, Gempa menyerahkan bunga itu yang tanpa disadari, Ice mengambilnya begitu saja, masih dengan ekspresi yang terkejut dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Untuk terakhir kalinya Gempa menatap Ice dengan lekat. Ice menatap balik kepada Gempa dan ia semakin terkejut saat dilihatnya mata Gempa yang kini menatapnya dengan tatapan kosong dan hampa, seperti tidak ada kehidupan disana.

Gempa dengan tenang menunjukan senyuman yang manis dan tulus terhadap Ice. Gempa tidak berkata apa-apa, hanya sebuah senyuman yang ia tunjukan, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Setelah itu Gempa meninggalkan kafe itu dalam diam, semua orang termasuk Ice hanya bisa menatap punggung Gempa yang kini telah menghilang dipersimpangan jalan. Ice masih terkejut dengan kehadiran Gempa yang membawanya pada kehancuran dalam hubungan mereka.

Tidak ada yang berani berbicara ataupun bergerak, bahkan Ice sendiri. Mereka semua terdiam dan hanya menatap bunga yang kini ada di genggaman Ice.

Sejak saat itulah Ice dan Gempa tidak pernah bertegur sapa lagi.

=ooo=

"Ice! Hoy Ice!"

"Huh?" Ice tersentak dari lamunannya dan menatap Solar yang kini berjalan disampingnya. Ia menggelengkan kepalanya dan menghela nafas kecil. Disaat seperti ini kenapa ia malah mengingat kenangan yang buruk itu.

Ice kini dilanda sebuah perasaan yang bersalah, sudah hampir dua minggu semenjak kejadian itu dan dia tidak mencoba sekalipun untuk berbicara atau menjelaskan semuanya pada Gempa. Ice bingung dan takut untuk berbicara pada Gempa. Ia akui bahwa dirinya ini sangat pengecut, apalagi setelah menyakiti hati kakak tersayangnya itu. Ice benar-benar bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Mungkin Gempa benar-benar menghilang karena dirinya.

"Kau ini kenapa, Ice? Melamun saja dari tadi." Ujar Solar yang menatap Ice dengan pandangan bingung.

Ice hanya bisa menggelengkan kepalanya, "tidak apa-apa. Hanya memikirkan keadaan kak Gempa saja." Jawabnya dengan lirih. Bibirnya gemetar saat menyebut nama kakaknya itu.

Perasaan bersalah terus menyelimuti dirinya. Dan juga amarah. Ya, dia bisa merasakan amarah yang muncul darinya. Tetapi bukan terhadap Gempa melainkan terhadap dirinya sendiri. Ia marah karena sudah menyakiti hati kakaknya yang tulus itu. Ia marah karena dirinya yang pengecut ini tidak bisa memperbaiki masalah dengan baik. Dan ia marah karena telah merusak hubungan ini dengan kakaknya yang ia cintai.

Benar. Pada akhirnya Ice memang sudah mencintai Gempa bahkan sebelum taruhan itu dibuat. Kasih sayang dan perhatian yang diberikan Gempa padanya benar-benar membuat dirinya bahagia. Walaupun tidak ia tunjukan rasa bahagianya itu tetapi sejujurnya ia sangat bahagia bisa bersama dengan Gempa. Jika boleh, Ice ingin terus bersama-sama dengan Gempa, tetapi kini semuanya sudah terlambat. Kalau saja saat itu sifat takutnya yang akan dijauhi atau bahkan dibully teman-temannya itu tidak ada, mungkin Ice tidak perlu berkata sekejam itu.

"Kak Ice kenapa terlihat sedih seperti itu? Jangan sedih dong kak!" Seru Thorn yang kini berada disampingnya, menatapnya dengan tatapan polos seperti biasa dan bibir yang dikerucutkan, tanda tidak suka dengan wajah sedih yang Ice tunjukan. Ice tersenyum kecil melihat Thorn yang seperti itu. Ia mengusap kepala Thorn dengan lembut dan menggelengkan kepalanya, "tenang saja, Thorn. Aku tidak apa-apa kok. Hanya lelah saja, ingin tiduran." Jawab Ice sembari terkekeh kecil.

"Oh benarkah? Kalau begitu setelah menemukan kak Gempa, kak Ice bisa tidur bersama nanti dengan Thorn ya?! Thorn akan temani kak Ice!"

Puppet and String (Re-publish)Where stories live. Discover now