Rahasia Tobong

Start bij het begin
                                    

"Aku ikut," kata Joko tanpa menunggu persetujuan yang lain.

"Baik, temui aku di bedeng Lilis nanti malam."

–––

Soleh kembali ke bedeng Lilis menjelang Maghrib. Tangannya menenteng beberapa botol Topi Miring, tuak Tuban, dan sebungkus kacang kulit yang dibelinya dari warung. Di atas ranjang, Lilis mengomel di depan cermin buram sambil menaburkan bedak ke wajah runcingnya. Ia terlihat geram melihat uang yang disimpannya raib. Ia sudah menyembunyikannya sedemikian rapi, tetapi Soleh masih saja bisa mengendus, mengambil, lalu menukarnya dengan barang-barang haram yang kini tertata di atas meja.

"Kamu tidak usah mengomel, Lis. Aku memakai uangmu untuk kepentingan yang lebih besar. Diamlah, begitu tobong Maryam roboh aku mendapat uang yang banyak. Kamu pun akan kecipratan," ujar Soleh menanggapi omelan Lilis.

"Dari dulu kamu ingin merobohkan tobong, sebenarnya ada apa kamu dengan tobong itu?" Lilis melongokkan kepala melalui tirai, menyembunyikan tubuh setengah bugilnya.

"Nanti kamu akan tahu sendiri, Lis. Sekarang cepatlah berangkat, sopir-sopir truk itu sudah menunggu. Cari uang yang banyak. Naikkan tarif kalau bisa."

Dari jauh, ia melihat topi biru di atas kepala Joko. Lelaki itu memang suka menyembunyikan wajah dengan topi, penyamaran wajar untuk seorang pencopet. Tak lama kemudian terlihat Sukri dan Jiman menyusul di belakangnya. Sekali lagi Soleh menggeser botol-botol itu, memutar dan membenahi letaknya agar ketiga temannya itu tahu ia memang berniat menjamu mereka. Soleh mengibaskan tangan kepada Lilis, seperti mengusir ayam. Ia ingin perempuan itu segera pergi agar tidak ikut campur urusan para lelaki malam itu, benar-benar mengganggu jika ada Lilis yang suka sekali mengomentari pembicaraan orang lain.

"Ada rahasia yang tidak diketahui siapa pun dalam tobong Maryam," kata Soleh setelah membuka tutup botol-botol minumannya. Sesekali ia melempar pandangan ke luar, memeriksa satu atau dua hal yang sekiranya mencurigakan. "Sebelum aku menceritakan kepada kalian, aku ingin kalian benar-benar sudah membulatkan tekat untuk membantuku."

Kesenyapan tiba-tiba menyumbat telinga Sukri, Joko, dan Jiman. Soleh yang mereka kenal suka berkelakar itu tidak seperti Soleh yang biasanya. Soleh hanya serius jika berbicara masalah politik. Waktu itu, dengan berapi-api ia bercerita bagaimana seorang politikus melibas saingannya dengan teriakan nama Tuhan dan dalil agama. Seperti seorang pendongeng, Soleh bercerita bagaimana politikus dan komplotannya itu memerangkap lawan, memelintir salah ucap lawannya itu, lalu melempar berita busuk yang sudah diolahnya kepada masyarakat, lalu berteriak atas nama penistaan agama. Hancur! Lawan politikus itu hancur berantakan. Soleh pernah menirunya untuk merobohkan tobong Maryam, tetapi apa daya dia bukan politikus andal. Yang hancur bukan Maryam dan tobongnya, tetapi dirinya sendiri dan sekutunya. Malam ini Soleh mencoba lagi merobohkan tobong. Namun, tidak ada cara lain yang bisa dipikirkan selain jalan kekerasan. Sukri, Joko, dan Jiman adalah harapannya terakhir.

"Bagaimana?" ujar Soleh merobek keheningan ketiga temannya. "Jika aku menceritakan hal ini kepada kalian, itu artinya tidak ada lagi jalan untuk mundur."

Joko, tentu saja menyanggupi, lalu Sukri dan Jiman membeo sambil memasukkan kacang ke dalam mulut mereka.

"Di dalam tobong Maryam ada perhiasan. Sangat banyak."

"Tunggu, maksudmu perhiasan ... " Sukri meninggikan bahu, meyakinkan apa yang ada di dalam pikirannya sama dengan pikiran Soleh, bahwa perhiasan yang dimaksud adalah hasil rampokan di rumah engkoh Margorejo. Perampokan yang menyebabkan Soleh di penjara.

Soleh mengangguk pelan.

"Kukatakan kepada polisi bahwa yang membawa hasil rampokan adalah Mamat dan Jeki, padahal selama ini aku yang menyimpannya, di tobong Maryam," bisik Soleh kepada ketiga temannya.

Sukri, Joko, dan Jiman mendadak bengong seperti orang linglung yang baru saja masuk rumah sakit jiwa. Sulit dipercaya jika selama ini Soleh menyimpan harta karun di dalam tobong kusam itu. Pantas saja Soleh begitu benafsu merobohkan tobong.

"Aku menyimpannya di bawah panggung, kutanam dalam tanah. Polisi masih mengira hasil jarahan itu dibawa oleh Mamat dan Jeki dan polisi belum sempat menanyainya karena mereka ...."

"Mati ditembak saat hendak ditangkap," Jiman meneruskan kata-kata Soleh dengan mata tak berkedip.

"Ya, benar. Aku menunggu saat yang tepat untuk mengambil hasil jerih payahku."

"Tapi, Leh. Kalau pun kita bisa mengambil kembali jarahan ittu. Kita harus membaginya dengan mendiang Mamat dan Jeki. Setidaknya, keluarganya harus kita beri."

"Persetan dengan mereka! Biar mereka membusuk di kuburan." Soleh berkata keras, menumpahkan kekesalannya. "Gara-gara mereka yang tak mau memakai masker saat menjarah rumah itu, operasi jadi gagal. Aku sudah memperingatkan mereka, tetapi mereka terlalu pongah. Mereka juga tidak merasakan bagaimana rasanya diinterogasi, dihajar habis-habisan oleh polisi. Lihat telingaku! Telinga kiriku tidak bisa lagi dipakai. Aku budeg sebelah! Asu!" Soleh mengumpat lalu meludah ke lantai, mengutuki Mamat dan Jeki. "Tidak akan kuberi sepeser pun! Mereka sudah mendapat jatahnya karena goblok."

Ketiga orang itu kembali bengong, masing-masing terganggu membayangkan yang nanti akan terjadi. Bagaimana jika darah Mamat dan Jeki menuntut? Soleh tahu keengganan mereka, tetapi mengabaikannya. Yang mati sudah mati, tidak perlu diurusi.

"Kita sergap tobong Maryam. Malam hari. Tidak akan susah melumpuhkan kawanan banci. Seperti ini ..." Soleh meremukkan kulit kacang di atas meja dengan sekali gebrak. "Bagaimana?"

Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Dec 06, 2019 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

Bakiak MaryamWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu