Sejarah

123 19 3
                                    


Sedari pagi Maryam berdiri di ambang pintu tobong, katanya Dinar akan datang hari ini. Rambut ikalnya dicepol sembarangan dengan karet pengikat minyak curah plastikan. Badannya tampak kurus di balik kaos partai dan sarung kotak-kotak yang membalutnya. Kakinya mungkin sudah kesemutan. Berkali-kali ia berganti tumpuan kaki, bakiak yang pengaitnya sudah copot puluhan kali itu pun mungkin juga sudah protes menahan berat badan Maryam—jika saja bakiak itu bisa bicara. Sebenarnya ia tidak mau merepotkan Dinar, tetapi masalah Soleh dan keberadaan tobong semakin membuatnya was-was. Maryam merasa, hanya Dinar yang bisa membantunya.

Sudah seminggu ini ia merasa dikuntit, merasa diawasi. Bajingan-bajingan pasar Wonokromo yang biasanya ikut menandak jika ia sedang mengamen kini kelakuannya seperti pecinta musik jazz yang alergi dengan campur sari atau jula-juli, menjauh jika ia datang berdendang. Beberapa berdiri di dekat ponten, berbagi banyolan kotor dengan penjaga ponten sambil sesekali melempar pandangan menelisik ke arahnya. Juru parkir Pasar Maling yang biasanya berbagi rokok dengannya hanya duduk-duduk di atas motor yang dijaganya, berkata satu-dua kata basi saat berpapasan dengan Maryam lalu pindah ke jok motor lain yang agak jauh. Beberapa malam sebelumnya, ia mengamen di kampung Pucang. Ia tahu benar daerah itu bukan daerah kekuasaan preman Wonokromo, tetapi beberapa kali ia melihat salah satu preman Wonokromo ada di sana. Ia pikir, itu hanya kebetulan saja.

Namun, kecurigaan bahwa dia dikuntit semakin bulat saat ia pindah mengamen ke Banyu Urip. Ia kembali melihat anak buah Soleh ada di sana, mengikuti ke mana pun dia bergerak. Sesekali ia melambat, duduk dan berpura-pura membetulkan ecek-ecek yang menemaninya mengamen sambil membagi pandangan ke arah si penguntit. Benar dugaannya, lelaki yang menguntitnya pun berhenti bergerak. Saat ada kesempatan, Maryam menyelinap, berhasil menghilang dari pandangan penguntitnya. Ia berlari ke arah lorong gelap, mengendap-endap di balik sebuah gerobak sampah yang isinya belum dibuang. Beberapa kali kaki Maryam menginjak kubangan, sayur busuk, dan leleran air lindi yang membuatnya mengumpat berkali-kali.

"Kirik!" ujarnya saat menginjak tahi yang terbungkus dalam plastik. Ia menyumpahi pemilik tahi yang membungkusnya dalam plastik. "Kenapa tidak buang hajat di sungai saja?"

Matanya menebar pandangan, cemas mencari sosok yang menguntitnya. Sekali lagi ia melangkah dengan hati-hati, mencari tempat yang tidak bertahi dan bisa sedikit mengintip tanpa ketahuan. Kucing-kucing mulai mengerubung, mengeong dan menggosok-gosokkan badan kotor mereka ke kakinya.

Bayangan penguntit itu terlihat, berdiri kira-kira lima meter dari tempat Maryam bersembunyi. Ia terlihat kebingungan karena kehilangan incaran. Selama beberapa menit ia mengunci pandangan ke gerobak sampah, melempar curiga kepada kucing-kucing yang memelototi sesuatu dan mengeong-ngeong ke satu arah. Sepertinya, mata Maryam dan penguntitnya saling beradu.

Kirik!" desisnya lirih tanpa mengerakkan bibir.

Tidak perlu menjadi detektif untuk tahu apa yang sedang terjadi. Wajah-wajah penjahat itu punya satu simpul; mereka teman-teman Soleh. Maryam yakin, Solehlah yang menyuruh mereka mengawasinya.

______

"Ada apa Mbak?"

Mulut Dinar tidak bisa menunggu hingga mereka masuk ke dalam tobong. Ia tahu, Maryam tidak akan menghubunginya jika tidak benar-benar gawat. Apalagi, ia melihat Maryam tidak tampil cantik seperti biasanya. Selama ini, Maryam selaluu tampil dalam balutan anggun kebaya cerah dengan wajah terias. Namun sore itu, di hadapannya berdiri sosok Maryam yang lain, seorang laki-laki dengan tulang pipi menonjol. Ia bisa mencium kesedihan yang terpancur dari senyum terpaksa Maryam, lebih anyir daripada bau sungai di belakang tobongnya.

"Kamu tidak akan percaya jika kamu tidak melihat sendiri," ujar Maryam sambil mengulurkan secarik kertas lusuh kepadanya.

"Ya Tuhan, ini tidak mungkin, Mbak! Tidak mungkin orang-orang sekitar sini menginginkan tobong ini digusur."

"Tapi kamu lihat sendiri kan? Ada duapuluh tanda tangan tetangga yang menginginkan tobong ini lenyap. Tanda tangan itu cukup untuk menutup tobong ini. Aku juga tidak mengerti kenapa mereka menginginkan tobong ini digusur, tobong yang sudah ada sebelum rumah-rumah mereka berdiri."

"Aku tidak percaya, Mbak. Aku rasa ada yang tidak beres dengan tanda tangan ini."

Dinar kembali menatap kertas berisi rentetan tanda tangan itu seperti seorang guru memeriksa lembar ulangan murid-muridnya. Ada beberapa nama yang tidak asing; Supik, Jumadi, Robert, termasuk Kasan, lelaki tua yang biasanya menjadi tukang parkir tobong. Dinar tersenyum kecut saat menemukan satu nama yang tidak pernah dia lupakan seumur hidup ada di surat itu juga: Soleh, namanya tercetak jelas menjadi pemrakarsa penggusuran tobong.

"Aku yakin Soleh sudah meracuni orang-orang untuk ikut menandatangani surat ini." Dinar melipat surat itu dan mengembalikannya kepada Maryam. Geliginya terkunci, membuat garis wajah gadis itu mengeras.

"Entah apa yang dikatakannya, laki-laki bejat itu pasti mengadu domba kita dengan orang-orang. Penyakit sosial, itu yang kudengar." Maryam berbicara lirih. "Rini mendengar Soleh menuduh tobong sebagai tempat penyebaran penyakit sosial. Mungkin maksudnya banci, waria yang hidup di sini dan bermain ludruk itu mengidap penyakit menular. Apa menjadi waria itu karena penyakit dan menular? Lalu siapa yang menulari aku dulu?" Jakun Maryam bergerak naik turun. Ia benar-benar berang. "Kalau benar jadi waria itu karena penyakit dan menular. Kenapa Soleh tidak juga jadi banci? Padahal dia sudah tidur di sini bertahun-tahun, bergaul dengan banci-banci penghuni tobong."

"Untuk manusia seperti Soleh, alasan itu jelas dibuat-buat." Dinar meletakkan pantatnya di tikar, bersandar pada dinding tobong. "Aku yakin ada sesuatu yang menyebabkan dia menginginkan tobong digusur. Itu yang perlu kita cari tahu."

"Penyebab Soleh menginginkan tobong ini dirobohkan? Tidak ada! Otak lelaki itu memang sudah korsleting sejak datang ke mari. Dari dulu! Hanya saja aku tidak menganggapnya serius." Maryam mengingat-ingat kilat mata Soleh sewaktu mereka bertemu pertama kali. Ada yang tidak beres, tetapi Maryam menganggapnya wajar. Ia mengizinkan Soleh tinggal di tobingnya. karena berpikir barangkali itu hanya kilatan mata jahanam sementara, yang akan sembuh jika perut kenyang dan bisa tidur nyenyak. "Aku tidak akan melepaskan tobong begitu saja. Aku akan lawan dia, Din, meskipun nyawa taruhannya. Ludruk, tobong, bahkan cecak-cecak yang diam di sini sudah menghidupi kalian. Tempat ini adalah sejarah."

Sejarah, kata Maryam.

Bagi Maryam, setiap jengkal tempat ini menyimpan cerita. Kaca buram yang menempel di dinding papan itu bukan hanya tempatnya mematut diri, tetapi tempat mencabut uban pertama di kepalanya. Uban yang membuat cantiknya surut beberapa sentimeter, jika kecantikan memang bisa diukur dengan meteran. Lantai itu! Lantai itu tidak hanya menjadi alas duduk penonton saat menikmati pertunjukan, tetapi juga tempat ditemukannya harta karun yang pernah menghidupi seisi tobong selama sebulan. Suatu ketika di masa paceklik, bakiaknya menyandung batu yang menyembul di lantai. Maryam terjerembab dan meringis kesakitan. Dalam kesakitannya, matanya melihat kilauan kusam seperti tutup botol bir, tertanam setengah di dalam tanah. Ia tidak yakin temuannya itu adalah barang berharga, maka Maryam pun membawanya ke toko emas. Beberapa hari kemudian, lantai tanah tobong itu pun berubah menjadi tambang emas dadakan, tergali di sana-sini demi mencari harta karun yang lain.

Tembok yang berdiri doyong itu bukan hanya menjadi pembatas tobong, tetapi menjadi pelindung bagi jiwa-jiwa pencari suaka. Dinar menutup wajah, tak sanggup melihat potongan-potongan peristiwa yang bergulir dari setiap jengkal bangunan tobong. Ia melihat gambar seorang gadis berpakaian kusam muncul dari ambang pintu; jiwanya koyak, tanpa asa, berdiri tanpa daya seperti pengemis lapar. Lalu datanglah sosok Maryam, menyodorkan segelas teh hangat dan mempersilakannya tinggal. Itulah gambar dirinya saat pertama kali tiba di sini.

Dahulu, gadis itu percaya jika malaikat itu hanya ada di surga. Cantik setengah mati jika berjenis kelamin perempuan, dan akan terlihat tampan setampan-tampannya jika berjenis kelamin laki-laki. Namun, saat ia tiba di tobong, ia menemukan jenis malaikat yang lain. Malaikat itu tidak tinggal di surga, pun jauh dari kesan cantik dan tampan. Ia tinggal di sebuah gubuk berbau apak, wajahnya seram meskipun sudah disamarkan dengan gincu dan pupur. Ia bukan lelaki, juga bukan perempuan, tetapi ia lebih keibuan dari betina mana pun dan lebih tegas dari jantan mana pun. Maryamlah yang menerima Dinar saat semua orang menolaknya.

Maryam benar, tobong adalah sejarah. Namun bagi Dinar, tobong lebih dari sekadar sejarah. Bangunan ini adalah juruselamat, yang mengikatnya saat ia terombang-ambing seperti layangan limbung.

Mungkin ini kesempatanmu untuk menebus kesalahanmu kepadaku. Temui aku di tempat biasa.—

Dinar menulis pesan pada layar telepon genggamnya, tertuju kepada Felix.

Bakiak MaryamWhere stories live. Discover now