Pertemuan Pertama Dan Teori Warna

114 18 0
                                    


Jam weker di meja sudah berteriak lima kali berturut-turut, lima kali pula pemiliknya membungkamnya dengan lemparan bantal. Seandainya di ranjang itu ada bantal keenam, pasti sudah melayang saat jam weker kembali berbunyi. Jane meraba-raba kasur, mencari barang yang sekiranya bisa dipakai untuk melempar weker sialan itu, tetapi ia sudah kehabisan benda untuk melempar. Ia bangun dengan malas, menginjak weker yang bergetar-getar di lantai dengan kakinya. Saat hendak merobohkan badan ke kasur kembali, telepon genggamnya berbunyi.

"Cuk!" umpatnya kesal.

Jane pasti akan mendamprat si penelepon jika saja yang menelepon bukan Felix. Semalam, ia baru tidur setelah ayam berkokok, gara-gara editor senior yang menginginkan artikel yang ditulisnya terbit hari itu. Jane mengangkat telepon, menggerutu tidak jelas sebagai pengganti sapaan 'halo' yang biasa terdengar.

"Siapa? Dinar?" ucapnya malas sambil melangkah ke wastafel, mengamati wajah bangun tidurnya yang tampak seperti hantu Jepang—kedua alisnya hilang.

"Oke, sebentar lagi aku ke sana. Dua jam dari sekarang."

Jane menutup saluran telepon sambil masih mengamati wajah anehnya di balik cermin, alisnya masih saja hilang. Satu-satunya kebodohan yang ia sesali ialah membabat habis rambut di atas matanya itu, saran dari seorang teman agar ia terlihat lebih feminin. Pada awalnya, ia sering menjerit kaget saat bangun tidur dan tidak sengaja melihat bayangannya sendiri di cermin. Ia pikir, ada hantu di situ. Cairan pencuci mulut yang isinya hampi menyentuh dasar botol dikumurnya, menggantikan odol dan sikat gigi. Ia melirik bak mandi yang masih terisi setengah, padahal ia membuka krannya semalaman. Air PDAM di Rungkut memang payah, alirannya tidak lebih lancar dari pipis bayi. Jane pun mengurungkan niatnya untuk mandi. Tidak seperti penyesalan yang didapat setelah alisnya tercukur, ia begitu bangga dengan rambut yang tidak pernah panjang. Cukup dengan setangkup air dan sedikit jel rambut, ia bisa tampil rapi dengan cepat, lebih cepat dari kran air yang memancur memenuhi bak mandi. Satu-satunya pekerjaan berat setelah itu adalah membuat bulan sabit dengan pensil alis di atas mata. Sudah lebih dari puluhan kali ia melukisnya setelah alisnya gundul, tetapi lebih dari dua ratus kali ia menghapusnya disertai umpatan-umpatan kesal.

Setelah dirasa alisnya cukup pantas untuk dilihat, Jane menyambar jaket denim dan sepatu butut berwarna kelabu perkutut. Ia memacu mini cooper-nya ke arah kota, menyisir daerah industri Rungkut. Rute itu adalah rute terdekat menuju kedai kopi di Barata Jaya, lokasi yang disepakatinya dengan Felix untuk bertemu. Kondisi jalan mulai merayap, saat mendekati pabrik biskuit. Plang besar yang terbaca Jadi Abadi Corak Biskuit terlihat begitu mencolok mata, berwarna merah congkak. Jane melirik jam yang tertanam dalam dasbor; pukul dua belas lebih sepuluh menit, waktu istirahat makan bagi pekerja pabrik. Para buruh memadati warung nasi di pinggir jalan, yang sekali makan cukup membayar tujuh ribu rupiah, termasuk es teh manis pendorong nasi ke perut. Sebagian lagi berteduh di bawah pohon, memakan bekal yang dibawa dari rumah. Aroma gurih dari pabrik biskuit tercium sangat kuat, memancing Jane untuk membuka lebar kaca dan menghirup sebentar gurih biskuit yang tidak terlihat, tidak apa-apa meskipun bercampur asap knalpot. Jane berpikir, di dalam bangunan itu pasti terdapat ribuan biskuit manis, bertumpuk-tumpuk di dalam kaleng. Para buruh di dalamnya pasti leluasa mengutil satu atau dua biji, memasukkannya dalam mulut tanpa dikunyah karena takut ketahuan mandor—yang kemungkinan juga melakukan hal yang sama.

Selepas tikungan Rungkut laju mobil mulai lancar, ia membelok ke kiri setelah melewati jembatan Nginden. Tiba-tiba Jane mengumpat, lalu menutup pintu kaca mobilnya rapat-rapat. Ia lupa bahwa saat itu sedang musim durian, dan ia sangat membenci buah itu. Seharusnya ia mencari jalan lain, menghindari aroma durian yang mulai menguar di sepanjang jalan. Lapak-lapak penjual durian berdiri membelakangi tangkis sungai, memakan bahu jalan dengan pongah, berlomba memamerkan dagangan terbaiknya. Jane merapatkan jaket, menegakkan kerah lalu menggunakan ujungnya untuk menutup hidung. Pikirnya, aroma durian itu seperti hantu berbentuk asap yang bisa menyelinap melalui lubang sekecil celah pintu.

Bakiak MaryamWhere stories live. Discover now