Bangsat Tobat

105 18 0
                                    



Pak RW mengelus jenggotnya sambil terpejam. Ia bersandar di dinding musala yang berhias bercak jamur di sana-sini, menikmati musik dari tamparan tangan anak-anak pada rebana. Meskipun ada banyak jendela, tidak satu pun jendela itu pernah dibuka, membuat udara dalam musala lembab dan jamur tumbuh dengan girang. Perkaranya sepele, kotak infak di musala itu sering raib. Pak RW curiga, anak-anak kampung sering mencurinya lewat jendela lalu lari ke makam yang terletak di samping musala. Sebenarnya uang di dalam kotak itu tidak terlalu banyak lantaran yang mengisi hanya Kaji Agus, kakek berumur enam puluh tahun satu-satunya warga Pulo yang rajin salat di musala. Biasanya setelah raib, kotak itu ditemukan di kuburan dengan gembok tercongkel, tentu saja tanpa isi. Pak RW pun berinisiatif. Demi mengamankan akhlak anak-anak dan Kotak infak, dalam rapat RW ia menyuruh warga untuk mengirim anaknya ke musala.

"Daripada main sepak bola tanpa terus dan tidak belajar akhlak, lebih baik belajar ngaji atau hadrah," katanya. "Barang siapa yang mengirim anak-anaknya ke musala, aku akan memberi televisi model baru kepada sepuluh anak yang paling rajin."

Iming-iming Pak RW membuat warga berlomba-lomba mengirim anak mereka ke musala, dari yang belum bisa bicara hingga menjelang akil balig. Maklum, berhala yang bisa menampilkan gambar dan suara yang dijanjikan Pak RW itu katanya tidak memerlukan antena tv yang terlalu tinggi, teknologinya sudah canggih. Ada yang membeli sarung dan kopiah baru dari tukang kredit keliling, ada pula yang mengirim anaknya telanjang kaki dan sarung bekas. Setiap bakda Asar, selalu terjadi keributan. Ibu-ibu bergerilya bersenjatakan sapu atau kemoceng, mendatangi lapangan parkir di depan gedung Pertamina Jagir. Mereka mencari anak-anak yang biasa bermain bola di sana. Demi sebuah televisi, ibu-ibu itu tidak memedulikan teriakan kesakitan dari anak-anak, dijewer atau dipukul dengan kemoceng. Permainan bola pun buyar, berganti dengan sungut-sungut bocah berkopiah dan bersarung menuju musala.

Namun, taktiknya tidak sepenuhnya berjalan. Memang musala penuh dengan pengunjung, tetapi kotak infak masih saja sering raib.

"Berandalan, tetaplah berandalan!" kata Pak RW sambil mengunci jendela, meyekrupnya hingga tidak bisa dibuka. Ia kemudian memasang rantai pada kotak infak dan membawa kuncinya ke mana-mana.

Sebenarnya musala itu kelihatan lebih baik setelah Pak RW mendadak alim. Dua buah lampu neon dipasang untuk menambah terang. Ia juga mendatangkan guru ngaji, mahasiswa IAIN Sunan Ampel yang ngekos di Margorejo. Ia memborong Alquran dari toko buku kenalannya dan menambah perlengkapan salat; beberapa sarung dan mukena, tentu saja dibayar belakangan. Tidak penting bagaimana nanti membayarnya, yang pasti, musala itu harus lengkap dan terlihat bagus. Jikalau nanti ia tidak bisa membayar, toh nantinya orang akan melupakan utangnya atas benda-benda suci itu. Masa iya, mereka tidak sungkan kepada Tuhan?

Suara azan menghentikan tabuh-tabuhan penghuni musala. Mereka berbondong-bongong mengambil air wudu lalu membentuk saf-saf untuk salat. Pak RW mengucek matanya saat melihat Soleh datang dengan kopiah dan sarung tenun, dipikirnya ia sedang diganggu jin yang iseng menjelang Magrib. Tidak mungkin berandalan itu muncul ke musala. Ia bangkit, lalu memeriksa gembok kotak infak, takut kalau-kalau berandalan itu diam-diam mengutil isinya. Soleh tidak segera pergi ke samping musala, tempat dua kran yang terpasang untuk mengambil wudu. Di samping masih ramai, ia juga tahu mata Pak RW sedang mengawasi. Begitu salat dimulai, Soleh mencopot sandalnya, berjingkat ke samping musala untuk mengambil air wudu. Kedua lengan kemeja digulung, memunculkan tato tanpa bentuk hasil uji coba kawan-kawannya dahulu. Meskipun tidak melihat, ia merasa mata Pak RW masih mengawasi, maka ia bergeser ke pilar, menghilang dari pandangan Pak RW. Ia tak ingin ketahuan jika ia lupa tata cara bersuci, sejak akil balig ia tak pernah menyentuh air wudu.

Begitu jemaah selesai salat dan mulai bersalam-salaman, Soleh menunggu giliran untuk bersalaman dengan Pak RW. Ia sengaja mengambil antrean paling belakang agar Pak RW mempunyai lebih banyak waktu untuk memperhatikannya. Saat tiba waktunya bersalaman, Soleh menyentuhkan dahinya yang masih basah sisa air wudu ke tangan Pak RW, meyakinkannya bahwa ia salat di musala.

Bakiak MaryamWhere stories live. Discover now