Bilik Setan

310 46 8
                                    


Dinar menatap patung Bunda Maria yang teronggok di depan kapel. Ia melepas kacamata capungnya dan menyisir rambut dengan jari. Hujan sedari subuh membuat patung andesit itu basah, terlihat belang. Punggung dan badan patung basah, menyisakan bagian kering di lekuk pahatan yang terlindung. Mata teduh patung itu menatap syahdu, seperti sedang berdoa dengan iringan 'Sanctum' yang terdengar samar dari dalam gereja. Kata orang, rumah ibadah itu suci, tempat para malaikat dan roh-roh yang baik berkumpul. Dinar pun mengamininya, itulah mengapa ia tidak merasa cocok dengan gereja, karena dirinya bukan bagian dari kebaikan. Sesegera mungkin Dinar menunduk, menghindar dari jangkauan mata patung itu sebisanya. Di hadapan patung itu, Dinar merasa seperti manusia transparan. Dosanya seperti gumpalan-gumpalan tumor berwarna hitam yang menempel di tubuh, tersebar di sana-sini. Kedua belah tangannya seperti ditumbuhi sulur daging berwarna hitam. Mulutnya busuk bernanah, otaknya dirambati tentakel-tentakel yang menusuk, sedikit demi sedikit menggulung bagian yang sehat. Kedua matanya menghitam dengan gelambir menjijikkan, dan yang paling mengerikan adalah hatinya; berlubang-lubang berisi belatung dan kalajengking. Kaki Dinar kaku. Air suci yang ada di pintu masuk terasa seperti larutan asam, perih dan panas saat menyentuh dahi, dada, dan kedua bahunya. Ia menebarkan pandang pada deretan bangku lalu memilih baris paling belakang.

"Rasanya berat, Tuhan." Ia menatap patung Yesus yang tersalib di depan mimbar. "Aku tahu aku harus berada di sini mengeluarkan noda-noda dosa di dadaku, mengakui semua kebusukan yang sudah kulakukan."

Dinar menyilangkan kaki, menjumputi ujung-ujung kemejanya. Sepuluh menit ia beku mengumpulkan keberanian untuk menghadap Tuhan dan mengaku dosa. Lagu-lagu pujian yang terdengar sayup tidak juga memberinya setetes keberanian untuk bergerak menuju bilik pengakuan dosa.

"Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku kemari." Matanya menengadah, tertumbuk pada lukisan orang-orang suci di atap kubah. "Aku bahkan tidak tahu apa yang seharusnya kukatakan. Saking banyaknya dosa." Ia tersenyum kecut. "Dan saking lamanya aku memendamnya."

Gadis itu meraba bangku kapel, halus dengan pelitur mulus. Seharusnya siapa pun akan nyaman dan bisa duduk tenang di bangku ini. Namun, tidak baginya. Pantatnya seperti menduduki kursi beralas rentetan paku-paku tajam.

"Apakah pengampunan itu nyata?" ujarnya. Ia meraba kalung salib yang tergantung di lehernya. "Ah, aku memang tidak seharusnya berada di sini."

Ia mendesah, lalu bangkit menuju pintu keluar. Toh akhirnya ia menyerah kalah, percuma berlama-lama di tempat itu. Sampai menit ketiga puluh, Dinar tidak menemukan kekuatan untuk mengaku dosa. Namun, sebelum ia sampai di ambang pintu, seorang pria memanggil namanya.

"Dinar?"

Dinar berhenti, bergeming dan semakin merasa ciut. Berada di tempat ini saja sudah menakutkan, sekarang ada pula yang mengenalinya. Jalan setapak menuju jalan raya sekonyong-konyong menjelma menjadi lintasan lari yang mulus, tanpa halangan. Isi kepalanya menyuruh dia lari secepat mungkin tanpa menoleh. Namun, keberadaan pria di ujung sana, membuat kakinya seperti memakai sepatu dari baja. Jika ia tidak ingat sedang berada di tempat suci, tentu ia sudah mengumpat.

"Felix?"

Dinar menyapa ragu pria yang sudah telanjur menjulurkan tangan, menawarkan jabat tangan kepadanya.

"Sudah lama aku tidak melihatmu, Dinar. Lima tahun? Apa kabarmu? Apa yang membawamu ke sini?"

"Felix, maksuduku, Romo, aku ingin mengaku dosa."

Dinar terkesiap. Kekagetannya bekerja seperti serum kejujuran, membuat mulutnya tak bisa berbohong lagi. Dia tidak menyangka jika bertemu Felix di tongkrongan para malaikat ini. Dahulu, ia mengenal Felix sebagai pemuda tanggung yang enggan menyentuh bangku gereja, teman semasa SMA jelmaan setan merah bertanduk dua dan berekor jangkar. Yang dilihatnya kini adalah seorang lelaki berwibawa dengan jubah hitam dan kerah roman; suci, dosa pun sepertinya enggan mendekat. Felix menggeser badan, mempersilakan Dinar berjalan lebih dahulu menuju bilik pengakuan dosa. Langkah kaki gadis itu terasa kian berat, lebih berat dari sebelumnya. Bagaimana mungkin ia mengaku dosa pada lelaki yang dikenalnya sebagai jelmaan demit?

"Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, Amin."

"Amin."

Hampir sepuluh menit Dinar terdiam, pandangan matanya masih saja jatuh ke lantai, pada sepatu biru yang basah karena ia tidak hati-hati saat turun dari motor, menyebabkan kaki kurusnya masuk genangan air.

"Romo, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan di dalam bilik ini. Seperti yang Romo bilang, sudah lima tahun aku menghilang." Dinar menjeda, rasa canggung itu belum juga musnah, malahan menjelma menjadi bintik-bintik air di dahi. "Selama itu pula aku tidak pernah datang dalam bilik ini, mengaku dosa."

"Anakku ..."

Anakku? Seketika Dinar berpaling, menjauhkan telinga dari mulut Felix yang masih berbicara. Kata itu terasa janggal, apalagi keluar dari mulut Felix. Tidak pantas! Dalam kepala Dinar, mulut Felix masih beraroma alkohol, masih meneriakkan sumpah serapah, dan selalu melabeli Dinar dengan sebutan yang tidak pantas, memaksa gadis itu untuk memerankan badut yang gagal melucu, tetapi sayang untuk tidak ditertawakan. Kata 'anakku' yang diucapkan seorang romo kepada umatnya seharusnya terasa seperti paduan cubitan telinga dari ayah dan gelitik bulu ayam. Namun, karena Felix yang mengucapkan—meskipun ia juga seorang romo—malah terasa seperti cotton bud yang tertancap terlalu dalam, menyumbat telinga, hingga membuat kata-kata Felix selanjutnya mendadak lenyap, berganti dengan denging panjang yang tak putus. Prosesi pengakuan dosa ini menjadi semakin sulit, lebih sulit daripada yang bisa ia bayangkan. Bilik kecil ini, Felix yang menjadi perantara, dan Bunda Maria yang masih terus mengawasi, membuatnya seperti merasakan beban Atlas si penyokong dunia.

"I am a lesbian," katanya tajam, memotong khotbah Felix yang entah sampai mana. "Kamu sudah tahu itu sejak lama, Felix. Sekarang aku datang untuk mengakui dosa. Apakah kamu bisa mengampuni aku, Romo? Romo Felix?"

Felix yang sedari awal menghadap lurus ke depan pelan-pelan memalingkan wajah. Mereka kini beradu pandang. Felix tahu, prosesi ini harus segera dihentikan. Yang dibutuhkan Dinar saat ini bukan telinga seorang pastur, tetapi telinga manusia biasa selebar telinga gajah. Ia kemudian mengeluarkan pena dan menuliskan sesuatu dalam secarik kertas, lalu memberikannya kepada Dinar.

"Tunggu aku di sana," ujarnya.

Bakiak MaryamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang